Kamis, 20 November 2008

Pandhita dari Chicago, "Change, We Believe In" (Ini bukan tentang Obama tapi Fazlur Rahman)

Bila Fazlurrahman tak meninggal pada 26 Juli 1988 lalu, tahun ini ia berusia 89 tahun. Bukan itu saja, ia juga akan ikut memilih presiden Amerika Serikat pilihannya pada 4 November kemarin. Soal siapa yang dicoblos, itu urusan dia, tapi saya kira ia akan menyukai jargon kampanye Obama, "Change, We Believe In". Tanya mengapa?

Bila Fazlurrahman tak meninggal pada 26 Juli 1988 lalu, tahun ini ia berusia 89 tahun. Bukan itu saja, ia juga akan ikut memilih presiden Amerika Serikat pilihannya pada 4 November kemarin. Soal siapa yang dicoblos, itu urusan dia, tapi saya kira ia akan menyukai jargon kampanye Obama, "Change, We Believe In". Tanya mengapa?

Data Pribadi Fazlur Rahman
Bila Fazlurrahman tak meninggal pada 26 Juli 1988 lalu, tahun ini ia berusia 89 tahun, lantaran ia lahir sekira tahun 1919, tepatnya pada 21 September, di daerah barat laut Pakistan. Ketika Rahman lahir, anak benua Indo-Pakistan belum terpecah menjadi dua negara merdeka yang masih menyisakan persoalan, yakni India dan Pakistan. Daya pikat rasionalitas cendekiawan satu ini, tak sekadar bisa dilacak dari pengalaman akademis atau latar belakang keilmuan semata. Jejak tapaknya bisa juga ditemukan sedari keluarga dan lingkungan tempat Rahman dibesarkan.

Dia dibesarkan dalam keluarga muslim nan religius bermadzhab Hanafi, satu madzhab fiqh yang dikenal paling rasional di antara madzhab sunni lainnya. Ayahnya ialah semacam kyai yang mengajar di madrasah tradisional paling bergengsi di anak benua Indo-Pakistan yakni Deoband. Meski begitu, berbeda dengan kebanyakan kaum tradisional lainnya, ayah Rahman yakni Maulana Syahab Al-Din ialah seorang kyai tradisional yang melihat modernitas sebagai tantangan yang perlu disikapi dan bukan dihindari secara ekstrem sebagai ancaman. Kepada sang ayah, Rahman belajar ilmu tradisional, selain juga mengenyam pendidikan formal. Ia anak yang cerdas, hingga tak heran di usia 10 tahun, Qur’an telah dihapalnya di luar kepala. Empat tahun kemudian, ia sudah mulai belajar filsafat, bahasa Arab, teologi, hadis, dan tafsir.

Ia beruntung telah lahir di anak benua Indo-Pakistan yang dikenal sebagai sentrum gairah pemikiran Islam. Nama-nama pemikir Islam progresif macam Syah Waliyullah, Sir Sayyid Ali, dan Muhammad Iqbal, tentu tak asing lagi di anak benua itu. Rahman sangat apresiatif terhadap pemikiran para pendahulunya, bahkan dalam pembahasan ihwal wakyu Ilahi dan nabi, ia mengakui bahwa pemikirannya merupakan kelanjutan dari apa yang telah berhasil dirumuskan oleh Syah Waliyullah dan Muhammad Iqbal.
Seusai menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah menengah, ia mengambil studi Sastra Arab di Departemen Ketimuran pada Universitas Punjab, dan berhasil menggondol gelar MA dalam bidang studi Sastra Arab tahun 1942. Empat tahun berikutnya, ia meneruskan studi doktoral ke Oxford University, dan berhasil meraih gelar doktor filsafat di tahun 1951 dengan disertasi tentang konsep kenabian (Prophecy In Islam: Philosophy and Ortodoxy. Pada Durham University, Inggris, Rahman pernah mengajar beberapa saat, dan ia menjadi Associate Professor of Philosophy di Islamic Studies, McGill University, Canada. Ia menguasai banyak bahasa baik itu Latin, Yunani, Inggris, Perancis, Jerman, Turki, Persia, Arab, dan Urdu.

Sekembalinya ke tanah air, pada Agustus 1962, Rahman menjadi direktur Institute of Islamic Research, satu lembaga riset yang di-endorse oleh pemimpin Pakistan pimpinan Jenderal Ayyub Khan. Selain itu, Rahman adalah anggota Advisory Council of Islamic Ideology pemerintah Pakistan di tahun 1964. Kedua jabatan itu mengundang kontroversi yang membuat khalayak mempertanyakan integritas dan tanggung jawab moral seorang Rahman sebagai ilmuan.

Lembaga riset Islam tersebut bertujuan untuk menafsirkan Islam dalam term-term rasional dan ilmiah dalam rangka menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang progresif. Sedangkan Dewan Penasehat Ideologi Islam bertugas meninjau seluruh hukum baik yang sudah maupun belum ditetapkan, dengan tujuan menyelaraskannya dengan al-Qur’an dan Sunnah. Kedua lembaga ini memiliki hubungan kerja yang erat, karena Dewan Penasehat bisa meminta lembaga riset untuk mengumpulkan bahan-bahan dan mengajukan saran mengenai rancangan undang-undang.

Kontroversi makin menjadi kala Rahman mengeluarkan fatwa-fatwa berkenaan dengan hukum bunga bank, penyembelihan hewan secara mekanis, juga posisi zakat atas pajak. Berbeda dengan pendapat kebanyakan ulama, bagi Rahman, bunga bank tidak bisa disamakan dengan riba. Dalam hal penyembelihan hewan secara mekanis, Rahman berpendapat boleh menyembelih ribuan hewan dengan hanya menyebut basmalah sekali. Soal zakat, menurut Rahman, dengan mekanisme tertentu secara gradual zakat bisa dipersepsi sebagai pajak.
Sayang sekali, penafsiran situasional dan kreatif Rahman terhadap norma moral al-Qur’an dan hadis menyangkut tiga persoalan di atas, justru disikapi dengan perlawanan tidak sehat oleh beberapa ulama, penguasa, dan khalayak. Bukannya menentang dengan cara ilmiah, mereka justru mengedepankan emosi dan ancaman. Tidak kurang dari 9 bulan, fatwa-fatwa yang melibatkan Rahman menjadi bulan-bulanan kehebohan pers Pakistan.

Ujung-ujungnya, Rahman membuat putusan hijrah ke Chicago, bumi Allah yang lain, tempat ia merumuskan pemikiran keislamannya, dan ke sana pula beberapa mahasiswa muslim termasuk mahasiswa Indonesia belajar Islam dengannya. Taufik Adnan Amal membagi perkembangan pemikirannya ke dalam tiga babakan utama. Pertama, periode awal (dekade 50-an); periode Pakistan (dekade 60-an); dan periode Chicago (dekade 70-an dan seterusnya).

Ada tiga karya besar yang disusun Rahman pada periode awal: “Avicenna’s Psychology” (1952); “Avicenna’s De Anima” (1959); dan “Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy” (1958). Dua yang pertama merupakan terjemahan dan suntingan karya Ibn Sina (Avisena). Sementara yang terakhir mengupas perbedaan doktrin kenabian antara yang dianut oleh para filosof dengan yang dianut oleh ortodoksi.

Pada periode kedua (Pakistan), ia menulis buku yang berjudul “Islamic Methodology in History” (1965). Buku ini memperlihatkan evolusi historis perkembangan empat prinsip dasar (sumber pokok) pemikiran Islam—Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’; dan peran aktual prinsip-prinsip ini dalam perkembangan sejarah Islam itu sendiri. Buku kedua yang ditulis Rahman pada periode kedua ini adalah “Islam”, yang menyuguhkan rekontruksi sistemik terhadap perkembangan Islam selama empat belas abad.

Pada periode Chicago, Rahman menyusun: The Philosophy of Mulla Sadra (1975), Major Theme of the Qur’an (1980); dan Islam and Modernity:Transformatioan of an intellektual tradition (1982). Pada periode pertama, karya Rahman bersifat kajian historis, sementara pada periode kedua, selain bersifat historis juga bersifat interpretatif (normatif), dan karya-karya pada periode ketiga telah bersifat normatif murni.

Pada periode awal dan kedua, Rahman belum secara terang-terangan mengaku terlibat langsung dalam arus pembaruan pemikiran Islam. Baru pada periode ketiga Rahman mengakui dirinya sebagai juru bicara neomodernis. Meski kebanyakan orang, menggolongkannya sebagai seorang neomodernis, tetapi ada juga yang lebih pas mentahbiskannya sebagai ulama multifaset. Menurut mereka, sibuk memberi label pada guru besar dalam kajian Islam pada Departement of Near Eastern Languages and Civilization, University of Chicago itu, hanya akan mereduksi kapasitas personal seorang Fazlur Rahman.

Buah Pikiran Fazlur Rahman tentang Hadis

Rahman pernah mengumpamakan dirinya layaknya ikan yang akan naik ke permukaan laut hanya sekadar untuk bernafas. Dia tak berlebihan, karena Rahman memang lebih suka menghabiskan waktunya di padepokan alias di perpustakaan pribadi yang terletak di basement rumahnya, di Naperville, kurang lebih 70 km dari Universitas Chicago, tempat ia mengajar. Sesekali atau seperlunya saja ia keluar padepokan, selebihnya ia akan asyik masyuk membacai buku dan menuliskan buah ia bertafakur.

Publik tercengang membacai karyanya, beberapa mengecam, selebihnya menabur puji. Pengalaman menjadi the other yang tersudut di Pakistan, membuatnya tak kaget berhadapan dengan sikap reaksioner para ulama tradisional yang terlanjur mengklaim Rahman menodai “keperawanan” Quran dan Sunnah. Namun buat sebagian yang lain, Rahman ibarat sang pencerah kejumudan pemikiran Islam yang stagnan. Tak heran, jika pemikirannya digandrungi kaum progresif bahkan memengaruhi corak (pembaharuan) pemikiran keislaman yang muncul sesudahnya.

Hari itu adalah hari Selasa di akhir pekan bulan delapan tahun 2008. Bertempat di Teater Utan Kayu, sejumlah intelektual muda Islam Indonesia berkumpul menggelar diskusi. Sebenarnya diskusi itu adalah ritus bulanan, hanya saja kali itu sedikit istimewa. Apa pasal? Usut punya usut mereka sedang memeringati haul 20 tahun Fazlurrahman yang diberinya tema “Menghidupkan Kembali Pembaruan Islam di Indonesia”. Tak pelak, Rahman adalah ikon pembaharuan pemikiran keislaman, tak terkecuali di Indonesia.

Di mata mereka, tokoh ini jelas-jelas istimewa, jika tidak istimewa di hati setidaknya di otak mereka. Saya mengira-ira, karya-karya Fazlur Rahman adalah bacaan wajib sekaligus akan mudah ditemukan di rak-rak buku intelektual muda ini. Diskusi kali itu menghadirkan Dr. Bachtiar Effendi dan Hamid Basyaib sebagai narasumber, dan Dr. Luthfi Assyaukanie, selaku moderator.

Ketiga nama itu tak asing, tapi yang paling saya ingat ialah nama yang tersebut terakhir sebagai narasumber, yakni Hamid Basyaib. Bukan apa-apa, ia adalah penerjemah yang baik (menurut saya) novel memukau Sang Alkemis terbitan Alfabet, yang tentu saja tak ada sangkut paut dengan pemikiran hadis Fazlur Rahman. Bahwa Hamid ternyata terpikat pada gagasan Rahman tentang hadis, itu adalah sesuatu yang lain. Menurutnya, Rahman menawarkan cara penglihatan baru untuk menilai sebuah hadis.

Tiba-tiba Luthfi menyela, “Begini Hamid, saya setuju dengan statemen Anda, dan memang betapa penting pemikiran sunnah dan hadis pada peta pemikiran seorang Fazlurrahman. Ini bisa kita lihat pada beberapa karyanya, bahwa Rahman selalu punya porsi untuk mengulas tema sunnah dan hadis. Dan sepertinya akan lebih menarik, kalau kita ber-teleconference ria-dengan mahasiswa Tafsir Hadis IAIN, eit, maaf saya ralat, UIN Sunan Kalijaga, yang kebetulan sedang berdiskusi juga tentang pemikiran hadis eyang Fazlur Rahman. Masa, cuma SBY dan JK saja yang bisa teleconference”, imbuh Luthfi sambil mesam-mesem. Hamid menimpali cukup dengan mengacungkan jempol tangannya, kira-kira dia ingin mengatakan “siip”.

Di ruang kuliah, lantai 3, gedung Ushuluddin UIN Suka, terlihat mahasiswa antusias mengikuti teleconference. Sementara di Utan Kayu, mas Bachtiar terlihat bisik-bisik dengan mas Luthfie yang duduk disebelahnya, “Wah UIN Suka tajir juga ya, punya perangkat teleconference”. Timpal Luthfi, “ya iyalah, kalau kita sih punya lembaga donor ya, kalau UIN, coba kamu berjalan mengelilingi gedung-gedung baru UIN Suka, pasti ketemu dech ama logo UIN plus yang paling penting adalah logo IDB. Acara bisik-bisik segera terhenti, karena mulai terdengar suara dari seorang mahasiswi berkacamata, “Tidak cuma mas Hamid yang kesengsem dengan pemikiran hadis Fazlur Rahman, saya kira setiap muslim yang lelah dengan kepongahan stagnasi pemikiran Islam, akan tertarik membacai definisi segar Rahman tentang Sunah dan Hadis, serta tawaran cara cerdas plus kreatif Rahman membaca teks hadis”. seorang mahasiswi berkacamata memulai pembicaraan.

Giliran mahasiswa yang duduk di belakang menyambung pembicaraan, “kebetulan sekali, kami sedang menginventarisir pemikiran hadis eyang Rahman, sang pemikir neo modernis”
Di Utan Kayu, hadirin yang hadir tampak bungah menyaksikan antusiasme mahasiswa, Bachtiar Effendi mulai bicara, “Wah mas, kalau saya kurang sepakat dengan pelabelan-pelabelan seperti modernis, neomodernis, dsb, nantinya kita malah mereduksi sosok seorang Rahman lho. Tapi saya benar-benar tertarik, ingin mengetahui pembacaan mahasiswa terhadap pemikiran hadis Fazlurrahman”.

Di ruang kuliah, waktu menunjuk pukul 13.00.
Menjawab permintaan doktor politik Islam lulusan Ohio State University, Ahmad, mahasiswa yang duduk di depan mulai menjelaskan, “Kita mulai dari ihtiar Rahman membeberkan evolusi historis sunnah dan hadis. Hadis yang secara harfiyah berarti cerita, penuturan, dan laporan, ialah sebuah narasi yang bertujuan memberi informasi tentang apa yang dikatakan, dilakukan, dan putusan-putusan Nabi, juga informasi tentang sahabat (senior) terutama empat khalifah pertama. Teks dan Isnad adalah dua komponen dalam hadis, yang memunculkan kegelisahan, bahwa dua hal itu tak mungkin mengada begitu saja tanpa perkembangan teknis dan perluasan materi.

Semasa Nabi hidup, posisi Nabi sebagai tauladan umat Islam, membuat orang-orang membicarakan tentang perilaku, perkataan,dan putusan Nabi sebagaimana mereka bicara tentang keseharian mereka. Keadaan berubah pasca mangkatnya Nabi, hadis beralih dari kondisi informal menjadi semi formal lantaran kualitas kesadaran di balik penyampaian ketauladanan Nabi. Transmisi hadis yang bersifat peneladanan terhadap Nabi dimanifestasikan lewat tindakan dan belum banyak melibatkan rumusan verbal. Nah, transmisi non verbal inilah menjadi tradisi yang hidup dan disebut sunnah. Fazlur Rahman juga menegaskan adanya unsur penafsiran manusia dalam sunnah.
Sunnah adalah perumusan para ulama mengenai kandungan hadits. Ketika terjadi perbedaan paham, maka yang disebut sunnah adalah pendapat umum; sehingga pada awalnya sunnah sama dengan ijma'. Karena sunnah adalah hasil penafsiran, nilai sunnah tentu saja tidak bersifat mutlak seperti al-Qur'an.

“Orientalis macam Ignaz, Margoliouth, Lammens, dan J. Schacht, menaruh perhatian besar pula pada muasal sunnah beserta kapabilitasnya. Bagaimana Rahman menanggapinya? Seorang mahasiswi tampak mengajukan pertanyaan.

“Kita akan melihat letak perbedaan Rahman dengan pandangan keempat orientalis ini tentang sunnah dan hadis”, Ahmad mencoba meyakinkan. “Dalam magnum opusnya, “Muhammadanische Studien” (vol. 2, 1890, Ignaz menyatakan bahwa hampir-hampir tak mungkin menyaring sedemikian banyak materi hadis sehingga diperoleh suatu bagian yang dinyatakan sebagai asli dari Nabi atau generasi sahabatnya. Ujung-ujungnya, ia menyarankan agar hadis hanya dianggap sebagai catatan pandangan dan sikap generasi muslim awal tinimbang sebagai catatan kehidupan dan ajaran Nabi atau sahabat beliau.
Margoliouth dalam bukunya berjudul Early Development of Islam, mempertahankan pendapat bahwa Nabi hanya meninggalkan Quran dan tidak dengan sunnah maupun hadis. Bahwa sunnah yang dipraktikkan generasi muslim sesudah nabi adalah kebiasaan bangsa Arab sebelum Islam yang telah mengalami modifikasi dalam Quran. Poin ketiga Margoliouth ialah tuduhan yang dialamatkan pada generasi kemudian abad 2 H, yakni mengembangkan konsep sunnah nabi dan menciptakan sendiri mekanisme hadis dalam usaha memberi otoritad dan normatifitas bagi kebiasaan tersebut. H. Lammens lewat buku Islam; Beliefs and Institutions, memperlihatkan pandangan yang tak jauh beda dengan Margoliouth.

Karya monumental Schacht ialah The Origin of Muhammadan Jurisprudence. Ia katakan bahwa ia meneguhkan apa-apa yang telah disimpulkan pendahulunya. Ia menemukan bahwa ketika untuk pertama kalinya hadis mulai beredar, hadis tidak dirujukkan kepada Nabi, tetapi kepada tabi’in, kemudian pada fase berikutnya kepada sahabat, baru setelah beberapa waktu lamanya, baru merujuk pada Nabi.

Rahman tidak bersepakat dengan keempat orinetalis itu perihal statemen bahwa konsep sunnah merupakan kreasi kaum muslim belakangan. Konsep sunnah, dalam pandangan Rahman, tetap konsep yang shahih dan operatif sejak awal Islam dan tetap demikian sepanjang masa. Terhadap Ignaz dan Margoliouth, Rahman mempertanyakan, bahwa di antara kedua orang tersebut tidak ada yang memutuskan apakah sunnah awal masyarakat muslim dipandang sebagai sunnah lantaran kebiasaan Arab praIslam atau karena Quran telah memperkenalkan modifikasi terhadapnya. Bila opsi kedua yang terjadi, perlu digarisbawahi bahwa dalam teori keagamaan, sesungguhnya telah terjadi pemutusan hubungan antara kebiasaan pra-Islam dengan sunnah yang Islamis”.

“Adakah perbedaan definisi Sunnah ala Rahman dengan definisi sunnah orang kebanyakan, yang berarti perilaku, perkataan, dan putusan Nabi, setelah itu habis perkara”. sambung mahasiwi lainnya.

“Generasi-generasi belakangan memang mengartikan sunnah demikian, dan kata itu memiliki orientasi normatif. Namun Rahman ingin mengatakan bahwa kata sunnah berarti tindakan aktual generasi sesudah Nabi yang ingin meneladani sang Nabi. Dan isi sunnah, Rahman mengibaratkannya dengan dasar sebuah sungai yang terus menerus mengasimilasi unsur-unsur baru, karena sunnah ialah praktik aktual masyarakat yang hidup dengan situasi sosial, budaya, dan politik yang beragam. Situasi yang demikian amat memungkinkan munculnya tafsir baru atas praktik ketauladanan Nabi, meski tetap saja dalam koridor Quran dan Sunnah”, terang Ahmad.

Lantas kapan sunnah mulai menjadi sebuah hadis? Tanya mahasiswa berbaju kotak-kotak.

"Yang terjadi kemudian ialah munculnya kebutuhan akan semacam kanonisasi pengalaman interpretatis-asimilatif dari masyarakat muslim generasi sesudah Nabi. Proses tradisi yang hidup tak mungkin berlanjut tanpa batas, karena dalam jangka panjang di tengah makin kompleksnya struktur sosial, budaya, dan politik masyarakat, struktur ideologis religius akan terancam kacau balau tanpa pangkal rujukan yang otoritatif. Pada titik inilah muncul hadis, (dalam skala besar) yakni usaha formalisasi dan verbalisasi sunnah.
Bila digambarkan dalam bagan, kira-kira seperti ini.
TELADAN NABI SAW
|
PRAKTEK PARA SAHABAT
|
PENAFSIRAN INDIVIDUAL
|
OPINIO GENERALIS
|
OPINIO PUBLICA (SUNNAH)
|
FORMALISASI SUNNAH (HADITS)
Hanya saja, kehadiran hadis tidak berlangsung adem ayem. Muncul kekuatiran-kekuatiran (yang nyatanya memang terjadi) seperti keharusan doktrin teologis, dogmatis, dan hukum untuk merujuk pada otoritas Nabi sebagaimana dituntut oleh logika fenomena kemunculan hadis, ditakutkan akan menyumbat proses interpretasi yang bebas dan kreatif sebagaimana dapat dilakukan dengan leluasa semasa eksis “tradisi yang hidup”. Muncullah kaum oposisi terhadap hadis, yang terlihat dalam karya sang ahli hukum al-Syafi’I, penggadang-gadang penerimaan hadis Nabi tentang hukum dalam skala massal seagai dasar hukum.

Para oposisi ini beranggapan bahwa praktik ketauladanan Nabi dalam masyarakat lebih mencerminkan warisan ajaran Nabi daripada hadis samar-samar yang dinyatakan bersumber pada Nabi tapi tak mempunyai dasar dalam masyarakat. Tapi pada pertengahan abad ke-3 H/9 M, hadis telah menjadi mapan dalam arti mempunyai bentuk tertentu, isi yang detail, dan oposisi terhadapnya mulai kewalahan. Untuk mengumpulkan, menyaring, dan mensistematisir hadis, berlangsunglah apa yang dinamakan Gerakan Pencarian Hadis”. Buahnya ialah beberapa koleksi hadis telah dihasilkan pada akhir abad 3H/permulaan abad 10 M. Pada masa itu pula, kritik hadis disempurnakan dalam ilmu hadis, yakni kritik yang ditujukan pada isnad atau mata rantai perawi hadis.” Dengan panjang lebar, Ahmad menjelaskan kemunculan gerakan hadis dan definisi hadis.

Perhatian sedang terfokus di ruang kuliah, tiba-tiba terdengar suara Luthfi dari Utan Kayu, ia mengajukan persoalan seakan ingin memantik diskusi. “Hanya saja, sesudah itu studi hadis justru terforsir pada wilayah sanad, studi sanad menjadi dominasi baru, ia melaju kencang laksana deret ukur, berbeda dengan studi matan yang melangkah tertatih selaksa deret hitung. Padahal, persoalan hidup kian kompleks, dan menantang kaum muslim merumuskan formulasi ajaran Islam sebagai solusi. Orang lantas menyebut-nyebut, katanya ajaran Islam lintas zaman, dan bukankah Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam?

Buru-buru Hamid Basyaib nimbrung, “Nah itu dia keluarbiasaan Rahman, ia punya tawaran jitu menjawab kegelisahan Luthfi, dan barangkali bukan hanya Lutfi tapi juga banyak ulama yang lain. Setelah membaca karya Rahman, saya berpikir, ternyata agama itu bisa dibicarakan demikian ya, apatisme saya pada kemandekan pemikiran Islam pun mulai berubah menjadi optimisme.

Menurut Rahman, umat Islam perlu sesegera mungkin melakukan reevaluasi terhadap unsur dalam hadis dan reinterpretasi matan hadis sesuai kondisi sosial saat ini, yang bukan saja jauh berbeda dibanding situasi sosial saat keluarnya hadis, tetapi juga terus dan akan terus berubah. Penafsiran situasional hanya mungkin dilakukan dengan pendekatan historis, sosiologis, filosofis, dan tentu saja ialah tetap melewati fase memahami petunjuk Quran yang relevan. Pertama, memahami makna teks dan asbabul wurud skala makro juga mikro. Yang dimaksud asbabul wurud makro ialah situasi masyarakat secara umum pada periode Nabi, sedangkan asbabul wurud mikro, yakni sebab-sebab khusus munculnya suatu hadis. Kedua, Memahami kalam Allah yang relevan dengan matan hadis dimaksud. Dari dua langkah ini saja, dapat ditemukan ide moral atau makna intrinsik hadis tersebut, untuk kemudian memasuki langkah berikutnya yaitu aplikasi dan adaptasi matan hadis dengan latar sosiologis saat ini. Saat itulah terjadi apa yang dikatakan Rahman sebagai usaha mencairkan hadis menjadi sunnah yang hidup sebagaimana telah dilakukan oleh generasi Islam awal sesudah Nabi.

Peserta diskusi di ruang kuliah UIN Suka mulai angkat bicara, “saya mencatat ada dua kontribusi Rahman terkait terobosan studi hadisnya yang berimplikasi besar pada perkembangan pemikiran Islam, mengingat fungsi hadis sebagai rujukan ajaran Islam. Pertama, menawarkan metode kritik hadis yang selama ini terlampau didominasi oleh kritik sanad, dan secara tidak langsung meminggirkan peluang terhadap kritik matan. Kedua, membuka jalan pemikiran alternatif atas kebekuan metodologi pemikiran Islam yang selama ini menyandarkan diri pada metodolgi yang dibangun ulama madzhab yang beraroma formalistik, tekstual, dan tidak holistik”.

Lutfi melirik jam di tangannya, pukul 14.00, tahu bahwa diskusi telah berada di ujung jalan, Luthfi mulai memungkasi, “Yah, begitulah pegaweannya eyang Fazlur Rahman, ia ingin menciptakan semacam world view Islam sebagai jawaban Islam berhadap-hadapan dengan laju zaman”. Rahman sadar benar, bahwa kaum muslim yang berjiwa tradisionalis tentu tidak akan gampang menerima pemikiran-pemikirannya. Dia hanya bisa berharap sekaligus menyarankan agar mereka sudi mempelajari pemikiran Rahman dengan objektif dan dengan kejujuran terhadap sejarah yang malah akan menguatkan Islam. Tulis Rahman, “Sesungguhnya Tuhanlah yang Menempa Sejarah”.

Jika murid-murid Rahman diumpamakan pendekar, maka sang guru adalah pandhita dari Chicago. Nama negara bagian itu makin dikenal dunia, pasca pemilihan presiden Amerika Serikat yang tuntas 4 November lalu. Chicago ialah negara bagian, tempat sang presiden terpilih, Barrack Hussein Obama tinggal. Seandainya Rahman masih hidup, saya kira ia akan menyukai jargon kampanye Obama, “Change, We Believe In”.

Read More......

Kamis, 22 Mei 2008

In Memoriam Soerastri Karma Trimurti

Pertengahan Mei, saya mesti berangkat ke Batavia, lantaran lembaga tempat saya bekerja: I:Boekoe (Indonesia Boekoe), punya hajatan yang diberi nama “Festival Mei”. Berita keberangkatan datang tiba-tiba, tepatnya h-1. Saya tak sempat membuat rencana, akan kemana saja saya selama singgah di ibu kota.
Tapi saya ingat, saya mesti ketemu dengan Surastri Karma Trimurti.

seseorang yang saya tulis riwayatnya dalam esai pendek: 2000 kata, lagi-lagi karena pekerjaan.

Saya dengar dari penjaga museum “pergerakan perempuan Indonesia” yang terletak tak jauh dari kampus saya sekarang (UIN) Sunan Kalijaga, bahwa ia sedang berobat ke Amerika, saya jadi sangsi akan bertemu.

20 Mei 2008, Mata Hari Lounge, Jl. Veteran No. 32, Launching dan Bedah Buku “Kronik Kebangkitan Indonesia”.
Malam itu, kali kelima saya didaulat menjadi mc, setelah lima tahun tidak menyambangi. Tapi kali itu saya sempat tak bersemangat, karena saya gagal berangkat bedah buku karangan Cora de Vreede, buku babon sejarah pergerakan perempuan Indonesia yang telat diterjemahkan. (karena buku ini dirilis semenjak tahun 1964-an). Meski para nama pembicara bedah buku tak membuat saya sumringah, tapi saya benar-benar ingin hadir.

Waktu mepet, saya tak mungkin telat karena ada job mc, apalagi hari itu libur nasional, sehingga niatan berangkat dari Salemba (sebut Perpustakaan Nasional), yang berarti tak jauh dari tempat acara, jadi batal. Kemacetan Jakarta membuat saya makin ragu, bahwa saya akan datang tepat waktu di Veteran I.

Seperti biasa, saya terduduk di sofa empuk, utara panggung. Tengah acara bedah buku, tiba-tiba, Taufik Rahzen, yang secara tiba-tiba juga menjadi moderator, mewartakan kabar duka. “Ali Sadikin dan SK Trimurti meninggal dunia”.

Ma jleg
, saya terpaku barang beberapa detik. Tubuh saya melunglai mendengar nama yang tersebut paling akhir. Saya menghela nafas pendek..

Tentu saja, pembaca tulisan ini bisa menebak sabab musababnya.

Malam itu juga, sesudah memungkasi acara, saya hunting berita perihal kematian Surastri, terutama tempat kematian dan alamat rumah. Alamak, ia wafat tak jauh dari kantor saya di Veteran I, yakni di RS Gatot Subroto.
Saya jadi ingat, tentang nilai strategis kawasan kantor saya, yang selalu diulang-ulang bapak Taufik, termasuk tak jauh dari tempat seorang perempuan yang saya ingin sambangi melepas ajal. Hah!

Alamat rumahnya tak kunjung saya temukan malam itu. Paginya, dalam perjalanan “sekolah” (ke perpusnas), saya terjebak macet. Di mana-mana demonstrasi, karena hari itu adalah hari Rabu, tanggal 21, bulan Mei, alias bertepatan dengan 10 tahun lengsernya Soeharto yang telah terkubur. Niatan menghadiri pemakaman perempuan kokoh itu saya urungkan. Bibir saya hanya bisa membaca Al-Fatihah, surat andalan saya, apalagi bagi orang istimewa.

Dua malam dari kematiannya, saya buka kembali file lama, tulisan yang saya beri judul:

"Zus Tri, Tiga Zaman Meringkuk dalam Bui"

Rekan seperjuangannya biasa memanggil perempuan kelahiran Boyolali ini dengan “Zus Tri”. “Zus”, sebutan bagi pejuang perempuan, di samping “bung” bagi kaum laki-laki. Penjara bukanlah tempat yang asing, karena zus Tri telah menghuninya semenjak tahun 1936. Tiga zaman tak pernah dilewatinya tanpa mendekam dalam bui: masa kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang, dan masa revolusi. Beberapa kali bertaruh dengan nyawa, sampai-sampai ia tak lagi takut mati. Zus Tri terlanjur percaya, soal hidup mati Tuhan penentunya. Buktinya, ia masih bertahan hidup, meski usianya lebih dari 90 tahun, (kalimat ini saya ralat malam ini: hingga ajal menjemput pada usia 96 tahun lebih 9 hari).

Nama perempuan itu, Surastri, yang nantinya setelah ia memimpin majalah Suara Marhaeni, Surastri menggunakan nama samaran Trimurti. Sebelumnya, ia pernah juga menggunakan nama Karma sebagai nama samaran. Semenjak itu, orang lebih mengenal nama Trimurti dibanding Surastri. Dalam majalahnya, selaku pemimpin redaksi, ia menuliskan namanya dengan Surastri Karma Trimurti yang disingkat S. K. Trimurti. Lahir pada Sabtu, 11 Mei 1912, sekitar dua tahun sebelum perang dunia pertama digelar. Mangunsuromo adalah nama ayahnya, yang menjadi carik saat Trimurti lahir, dan meningkat hingga didaulat menjadi camat.

Sewaktu Mangunsaromo, ayahnya, mengadakan turne (perjalanan) ke desa-desa yang menjadi wilayah kekuasaannya, adakalanya Trimurti ikut. Maka ia lihat sendiri kemiskinan penduduk desanya, yang kebanyakan masih bertelanjang tanpa memakai baju. Sebaliknya, pemandangan begitu kontras saat ia bersama ayahnya mengunjungi kakak lelakinya, yang bersekolah di Europese Lagere School. Trimurti menyaksikan para sinyo dan noni Belanda yang berpakaian rapi, pertanda hidupnya yang mapan. Ia sedikit gusar menemukan perbedaan yang mencolok, tetapi Trimurti tak pernah menanyakan sebabnya.

Setelah tamat dari Tweede Inlandsche School (Sekolah Ongko Loro), Trimurti meneruskan ke Meisjes Normaal School (Sekolah Guru Putri), di Jebres, Solo. Karena lulus dengan angka terbaik, Trimurti diangkat menjadi guru di Sekolah Latihan, tempat murid Sekolah guru belajar praktik mengajar. Di sana ia tak betah mengajar, dan dipindah ke Sekolah Ongko Loro Alun-Alun Kidul. Baru beberapa bulan, Trimurti lantas dipindah ke Banyumas, mengajar pada Meisjesschool (sekolah khusus anak-anak perempuan). di Banyumas inilah, ia mulai masuk menjadi anggota perkumpulan Rukun Wanita, dan beberapa kali mengikuti rapat Budi Utomo cabang Banyumas.

Trimurti juga membacai koran dan majalah yang mewartakan kegiatan macam-macam organisasi dan partai, serta mengenalkannya pada Soekarno, yang dikenal sebagai “jago podium”-nya Partai Nasional Indonesia (PNI). Sehingga saat Trimurti mendengar bahwa Soekarno beserta sejumlah pemimpin Partindo akan menggelar rapat besar di Purwokerto, segera ia bersama Suprapti, yang juga seorang guru, berangkat ke Purwokerto naik dokar. Trimurti ingin melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana Soekarno melancarkan agitasi dari atas podium. Seingatnya, kala itu Soekarno bicara tentang kolonialisme dan imperialisme yang menjadi musabab rakyat sengsara.

Berkat brosur siaran dari Persatuan Bangsa Indonesia dan Partindo, keduanya nekat hijrah ke Bandung, pada 1933. Mereka ingin bergabung dalam Partindo, meski untuk keinginan ini, keduanya harus menanggalkan status sebagai guru pegawai pemerintah (setelah pemberlakuan peraturan, bahwa pegawai negeri tidak dibenarkan menjadi anggota Partindo ataupun PNI Baru). Sengaja Trimurti pergi ke Bandung, karena juga tak tahan dikuntit seorang Politieke Inlichtingen Dienst, PID, yang giat mengawasi gerak-gerik Trimurti. Belakangan, diketahuinya, seorang PID ini, justru jatuh hati pada Trimurti dan bersedia meninggalkan pekerjaan bahkan juga bergabung dengan Partindo, bila Trimurti mau menerimanya. Tetapi tetap saja, permintaan lelaki PID itu ditolaknya.

Di Bandung, baik Trimurti maupun Suprapti mengikuti kursus kader Partindo, yang dibina langsung oleh pemuka Partindo, termasuk bung Karno. Ia diminta menulis pada majalah Fikiran Rakyat, corongnya Partindo, “Tri, tulislah karangan, nanti kami muat dalam majalah Fikiran Rakjat”. Tulisannya memang benar-benar di muat, dan Itu kali pertama tulisan Trimurti dibaca khalayak. Di Bandung, selain tinggal di asrama yang khusus disediakan bagi peserta kursus, Trimurti juga sempat tinggal di rumah bu Inggit, sebelum akhirnya ia pulang karena tak yakin bisa bertahan hidup di Bandung.
Dari Klaten, rumahnya, ia menuju Solo, tempat Trimurti berjibaku mendirikan majalah berbahasa Jawa, Bedug, yang hanya terbit sekali, karena berganti nama menjadi Terompet, dan berganti bahasa, bahasa Indonesia. Lagi-lagi Trimurti tak jenak tinggal lama di Solo, sehingga ia pulang lagi ke Klaten.

Semenjak kepulangannya dari Bandung, dan terlibat dalam kegiatan politik, ia tak pernah lama menetap di satu kota, termasuk di Klaten, rumahnya sendiri. Laporan ihwal kegiatan politiknya selalu mampir ke telinga ayah lewat keluarga yang kebetulan bekerja di kalangan PID. Laporan yang membuat gelisah Mangunsaromo, ayahnya, karena kebanyakan saudara Trimutri adalah pegawai negeri terutama menjadi pamong praja. Kata ayahnya, “Tri, sekarang begini saja. Kalau kau mau ikut ayah, kau harus menghentikan kegiatanmu itu”. Dihadapkan pada dua pilihan, Tri memilih terusir secara halus dari rumah.

Tujuannya kali ini ke Yogyakarta, tempat Sri Panggihan, teman berjuang di Partindo tinggal. Saat itu, Sri Panggihan baru saja keluar setelah 50 hari di penjara bersama teman perempuan lainnya dari organisasi Mardi Wanita, perkumpulan perempuan di bawah panji Partindo. Beberapa orang pemimpin Mardi Wanita adalah aktivis Partindo, sementara para penyokong hampir seluruhnya orang Partindo, sehingga perkumpulan ini terkena Vergadering Verbod (larangan berkumpul dan rapat).

Para aktivis memang tak patah arang menghadapi larangan berkumpul, macam-macam siasat digunakan. Ada yang menggelar rapat sambil berjalan di gang-gang, dan bila hampir tertangkap basah, mereka akan pura-pura menari dan membunyikan musik lewat gamelan atau sekadar suara mulut. Bila sudah demikian, PID tak punya bukti dan tak bisa menangkap. Tapi tak semua beruntung, berpura-pura menuai padi, Sri Panggihan beserta teman perkumpulannya, mengadakan rapat di tengah sawah. Apes nasib mereka, karena rapat tercium oleh PID sehingga mesti meringkuk dalam penjara.

Untuk bertahan hidup, Sri Panggihan dan Trimurti bekerja membatik pada saudagar batik ternama: Kudonarpodo, di Nyutran, Yogyakarta. Mereka bekerja bergantian, bila Trimurti bekerja, Sri Panggihan berkeliling membina organisasi dari rumah ke rumah, demikian sebaliknya. Mardi Wanita lalu berganti nama menjadi Persatuan Marhaeni Indonesia (PMI) yang memiliki majalah organisasi, Suara Marhaeni. Karena Trimurti dianggap berpengalaman menulis dan mengelola media, maka ia didapuk mengemudikan majalah. Pada 1936, karier organisasi Trimurti melonjak. Ia menjadi ketua pengurus besar PMI, yang berpusat di Semarang, dan membuatnya harus bertolak ke kota itu.

Di kota inilah ia berkenalan dengan terali besi. Pasalnya, ia tak tahan alias kesal pada tekanan pemerintah yang bernafsu melumpuhkan pergerakan. Beberapa temannya bahkan merasa frustasi, putus asa dan hampir berhenti menjadi pejuang. Maka bersama Sutarni, sekretarisnya di PMI, ia membuat pamflet atau selebaran, yang isinya menelanjangi ketidakadilan kolonial dan menunjukkan sikap anti kapitalisme dan imperialisme. Pamflet ini dibuatnya malam-malam, di kuburan Cina, desa Wonodri, yang setelah selesai, dibungkusnya dalam kain putih. Tak disangka, pagi-pagi benar dua orang PID menggeledah rumahnya dan berhasil menemukan selebaran yang tadinya sempat ia lemparkan (meski tidak tepat sasaran) untuk menghindari mata jeli PID. Trimurti dan Sutarni dibawa ke kantor polisi. Untuk menjaga gerak PMI, Trimurti mengaku bahwa ia mengerjakan sendirian, sehingga Sutarni, sekretarisnya, bebas dari tuntutan.

Sembilan bulan ia menghuni penjara khusus perempuan, di Bulu, Semarang. Karena berstatus tahanan politik, Trimurti ditempatkan dekat kantor Tata Usaha Penjara. Depan kamar tahanannya, terdapat halaman selebar 1 meter. Jendelanya berterali besi, sedangkan pintu tebal dikunci dua kali, kunci biasa dan gembok. Kamar tahanan Trimurti bersebelahan dengan kamar tahanan perempuan Indonesia yang kawin dengan orang Belanda, dan kewarganegaraannya sudah disamakan dengan bangsa Belanda, sehingga perlakuan pegawai penjara lebih istimewa. Pakaian tahanan Trimurti adalah kain sarung lurik dan baju kurung biru tua, ia tidur di atas papan beralas tikar tanpa kasur. Bantalnya kecil sebesar guling bayi, berisi dami (tangkai-tangkai padi), karena itu keras sekali dan Trimurti tak pernah tidur menggunakan bantal yang justru membuat kepalanya sakit. Sedangkan fasilitas tetangga sebelahnya jauh lebih baik.

Perempuan yang kawin dengan orang Belanda itu diberi sarung yang baru dan pakaian berwarna putih. Tempat tidurnya diberi kasur dengan seprei putih, sementara jendelanya diberi gorden putih. Kesemua itu diganti tiap pekan, karena harus dicuci oleh para tahanan orang Indonesia. Bukan saja perkakas yang mesti dicuci, piespot (tempat kotoran) tahanan berwarganegara Belanda juga harus dibuang dan dicuci oleh para tahanan orang Indonesia.

Trimurti keluar penjara pada 1937, setahun setelahnya ia kembali ditahan terkena persdelict. Sayuti Melik, calon suaminya, saat itu meminta Trimurti memuat tulisannya dalam harian Sinar Selatan, surat kabar tempat Trimurti ikut membantu di dalamnya. Tulisan bernada provokatif itu dimuat tanpa nama pengarang. Kala artikel itu dituduh menghasut, Trimurti mengaku sebagai pengarang, dan berarti ia bersiap ditahan. Dalam pikirannya, itu lebih baik daripada Sayuti harus masuk lagi penjara setelah pernah di tahan di Digul. Setelah ditahan sementara, ia dikenakan tahanan luar, yang justru digunakannya untuk menikah dengan Sayuti Melik (1938). Untuk kesekian kali ia harus berselisih paham dengan orang tuanya yang menyatakan keberatan dengan rencana pernikahannya, yang akhirnya tidak berlangsung di rumahnya, Klaten, tetapi di rumah Kartopandoyo (bekas digulis), di Kabangan, Solo.

Lima bulan setelah anaknya lahir, Trimurti benar-benar mendekam di penjara, di Bulu, Semarang. Tetapi getirnya dipenjara tak separah perlakuan yang didapatinya saat ditahan Kenpeitai, Jepang. Saat itu, baru dua bulan ia melahirkan anak keduanya, Heru Baskoro, ia sudah dipanggil oleh Kenpeitai, bernama Nedaci, di penjara Jurnatan, Semarang.

Mulanya Trimurti diinterogasi oleh Nedaci, interogasi yang tidak cukup lancar, karena Nedaci kurang pandai bahasa Indonesia, begitu pula sebaliknya Trimurti. Tetapi secara garis besar Trimurti tahu bahwa ia didakwa melawan Jepang, dan ia jawab bahwa ia tidak memusuhi Jepang atau Belanda. Ia hanya memusuhi sikap menjajah bangsa-bangsa itu. Jika Jepang datang untuk bersaudara, tentu akan disambut baik. Tetapi kalau kedatangan mereka ke sini untuk menjajah, maka dia akan melawan.

Kontan Nedaci marah, dan matanya melotot sambil mengeluarkan kata-kata yang tidak ia pahami. Lantas Nedaci berdiri mendekati tawanannya, sementara Trimurti melirik. Ia lihat Nedaci mengambil pentungan dari karet yang keras di atas meja. Lantas ia pukulkan pentungan ke arah kepala Trimurti. Mula-mula pelan, tetapi semakin lama semakin keras, sehingga terasa sakit sekali. Tiba-tiba ia sudah tak bisa menggerakkan sekujur badan dan tidak mampu merasakan sakit, karena urat syarafnya tak bekerja akibat kerasnya pukulan. Ketika pentungan dipukulkan tepat di atas ubun-ubunnya, sekonyong-konyong kepala Trimurti terjatuh di atas meja, tetapi matanya masih terbuka. Di puncak kekejaman itulah, Sayuti Melik, suaminya, yang telah lebih dulu ditahan, dipanggil dan dipaksa menyaksikan kondisi istrinya. Trimurti semakin memendam amarah, tetapi ia tidak kuasa bergerak dan hanya mampu memelototkan mata.

Setelah enam jam dalam ruang itu, ia dipindah ke kamar lain. Teringat anak lakinya yang seharusnya ia susui per-tiga jam, Trimurti nekat minta izin pulang, dan diperbolehkan dengan pengawalan dua orang resisir. Begitu sampai, segera ia susui Heru, anaknya. Rupanya, ASI Trimurti menjadi panas sebagaimana badannya.

Ia tetap kembali ke penjara dan baru pulang ke rumah sore hari. Setiap pagi pada hari-hari berikutnya, ia mesti menjalani pemeriksaan. Trimurti tidak mungkin lupa pada Nedaci yang menyiksanya dengan kejam, tetapi siapa sangka bila Nedaci justru mencintai Sumakti, adik Trimurti, yang dilihatnya beberapa kali sewaktu mengunjungi rumah Trimurti. Nedaci mengatakan itu pada Trimurti di penjara Jurnata, Semarang. Jelas saja ia tolak permintaan Nedaci yang ingin menikahi sah Sumakti. Mengiyakan berarti mengangkangi harga diri.

Selesai proses pemeriksaan, tanpa menerima keputusan apapun, Trimurti dikenakan tahanan rumah sampai bung Karno—yang saat itu sedang berada di Semarang— mendengar kabar Trimurti, dan mengusahakannya bebas untuk diperbantukan di kantor besar Putera, di Jakarta. Bung Karno tidak mungkin lupa pada Trimurti, kadernya di Partindo, yang nyaris dipenjara, karena pidatonya yang tajam dalam rapat perempuan yang diselenggarakan Partindo. Karena dianggap mengganggu ketentraman umum, Trimurti dipanggil polisi dan diinterogasi, apakah pidatonya dibuat oleh Soekarno? “Nona masih muda, lebih baik meneruskan sekolah saja, jangan suka dihasut Soekarno!”

Dua hari menjelang proklamasi, ia dan suami mendatangi bung Karno di rumahnya membincangkan keadaan dan sikap yang semestinya diambil. Ia di sana sampai malam, sehingga Trimurti menyaksikan datangnya tiga pemuda yang akan menyampaikan pesan golongan muda, dan dilanjutkan dengan datangnya pemimpin-pemimpin lain, seperti, Bung Hatta, Subarjo, Buntaran, dan Iwa K. Saat proklamasi dibacakan, Trimurti berada di tempat pembacaan, Pegangsaan Timur No. 56, bahkan sewaktu akan menaikkan bendera, ada suara yang memintanya memasang. Tapi ia tak mau, dan terpilih Latif Hendraningrat.

Semasa revolusi, Trimurti terpilih sebagai pengurus Partai Buruh Indonesia. Ia juga menjadi satu-satunya perempuan yang duduk dalam kabinet pimpinan perdana menteri Amir Syarifuddin, sebagai menteri perburuhan. Tetapi umur kabinet perdamaian ini hanya seumur jagung, tujuh bulan saja. Setelah Amir menyerahkan mandat, bung Karno menunjuk Hatta menjadi formatir kabinet. Sementara Amir menggalang kekuatan lewat Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang nantinya mencakup Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis, PBI, dan Pesindo.
Kembalinya Muso dari luar negeri—yang kemudian bergabung dalam PKI—semakin membuat ramai pertarungan politik. Tentang Muso, Trimurti pernah punya pengalaman. Saat Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) mengadakan rapatnya yang dihadiri Muso, Trimurti sempat bertanya padanya, “Pak, saya orang awam ini mau bertanya, mengapa pak Alimin pro perundingan, sedangkan pak Muso tidak? Padahal dua-duanya PKI dan dua-duanya pernah ke Moskow? Muso menjadi marah mendengar pertanyaan Trimurti. Sambil menunjuk muka Trimurti di depan rapat yang kala itu dikunjungi wakil-wakil buruh se-Jawa, Muso menjawab, “nah inilah kalau mau tahu, inilah orang Trotskyst”. Trimurti lantas tersinggung, ia katakan pada Setiajid, rekannya di PBI, bahwa bila Muso datang ke kantor PBI untuk membicarakan fusi, Trimurti tak bakal mau menemuinya. Rupanya Setiajid menyampaikannya pada Muso, sehingga paginya Muso datang meminta maaf ke rumah Trimurti sekaligus menjadi kantor PBI.

Muso memang menginginkan partai yang tergabung dalam FDR dilebur saja dan menjadi satu partai dalam PKI. Menanggapi ajakan PKI, beberapa pengurus besar PBI berniat mengadakan rapat di antara pengurus besar saja untuk mengambil keputusan. Trimurti tidak sepakat, dan ia menilai bahwa keputusan itu hanya dapat diperoleh melalui mekanisme konggres. September 1948, PBI menggelar konggres di Madiun, dan dimulai pukul 19.00. Belum lama dimulai, terdengar kabar bahwa telah pecah peristiwa Madiun. Konggres terpaksa dihentikan, dan peserta konggres diminta menyelamatkan diri masing-masing, karena pemerintah sedang mengadakan pembersihan, sementara anggota FDR adalah sasarannya.

Meski tak tahu menahu ihwal peristiwa Madiun, tetapi PBI terlanjur tercatat sebagai anggota FDR, yang berarti mereka semua siap ditangkap, termasuk Trimurti. Dari Madiun, Trimurti menempuh jalan utara, melewati Mojokerto, belok ke barat, naik kereta melalui Cepu, Pati, kemudian Purwodadi. Di Purwodadi ia turun, tetapi tak lama tentara Siliwangi telah menguasai kota itu. Buru-buru Trimurti mengungsi hingga Pati lalu pergi ke Juana, ternyata di Juana inilah ia tertangkap. Trimurti dibawa ke Markas, dan dikirim ke Pati untuk ditahan sementara di markas kepolisian Pati.

Malam itu, Trimurti tidur di atas meja tulis kecil dalam ruangan. Namun ia tidak bisa tidur, karena beberapa kali prajurit bersenjata, sambil mengacungkan ujung bayonet ke mukanya, berkata, “Inilah pengkhianat. Uangnya tentu sudah banyak diterima dari Van der Plas”. Ada pula yang tega sengaja meludah dari balik terali ditujukan pada Trimurti, tetapi Trimurti diamkan saja. Paginya, Trimurti mulai diperiksa oleh Perwira Polisi Urusan Politik. Begitu selesai dikatakannya bahwa Trimurti memang tidak terlibat. Trimurti cuma bisa menimpali, “Nyatanya saya anggota menjadi anggota FDR, karena saya anggota PBI. Jadi kalau FDR dipersalahkan, dengan sendirinya semua anggota ikut dipersalahkan. Sudah biasa, dalam revolusi terjadi korban-korban berjatuhan. Korban itu bisa terdiri dari orang-orang yang betul-betul salah, bisa juga terdiri dari orang-orang yang sama sekali tidak salah... Jadi kalau saya dalam hal ini menjadi korban yang konyol itu, itulah nasib saya. Dan semua akan saya terima”.

Selepas pensiun dari menteri, Soerastri pernah duduk jadi anggota Dewan Nasional RI, Diutus pemerintah belajar worker’s management, diangkat jadi anggota pimpinan Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Anggota Dewan Perancang Nasioanl, anggota Dewan Nasional Angkatan 45, anggota MPRS, anggota Perintis Kemerdekaan Indonesia, dan memperoleh Bintang Mahaputra V zaman Soekarno berkuasa.

Tentu saja, kiprah SK Trimurti dalam pergerakan tidak saja berhenti dengan sekadar menyebut posisi-posisi strategis sebagaimana di tulis pada paragraf sebelum ini. Anda tentu saja tidak akan mengetahui utuh keterlibatannya dalam pergerakan hanya dengan membacai buku biografi SK Trimurti bersampul coklat, yang ditulis oleh I.N. Soebagijo, sebagaimana pernah diakui sendiri oleh Soerastri.

Coba anda baca majalah Gerwis, organ milik organisasi perempuan radikal era pertengahan tahun 50-an plus majalah Api Kartini. Tetapi sayang sekali, kalau anda berharap menemukan majalah ini secara lengkap di Indonesia. Karena saya hanya menemukan majalah Gerwis 1 edisi, dan majalah Api Kartini sebanyak 9 edisi di perpustakaan nasional, tapi mungkin saja tidak kalau anda berkunjung ke Belanda.

Sebagai pungkasan tulisan, saya hanya mengingatkan, jangan salah menyebut kepanjangan dari huruf S pada namanya SK Trimurti, apalagi anda berani menyebut nama Soelastri. Kalau almarhum mendengar sendiri, bisa naik pitam ia dibuatnya. Apa pasal? Soelastri adalah nama istri Janaka yang kesekian, dan ia sama sekali tidak suka dimadu. Bukan saja bisa dibuktikan dari perselisihannya dengan Soekarno sewaktu presiden “penggemar” wanita cantik ini hendak menikahi Hartini, bahkan ia dengan “sadar” memilih berpisah dari suaminya, Sayuti Melik, lantaran ia hendak dipoligami. Selamat jalan Soerasti Karma Trimurti, meski kau harus hembuskan nafas terakhir tepat 40 hari sebelum pers perempuan Indonesia bakal merayakan seabad usianya: 1 Juli 2008.

Kubuat tulisan beriring instrumental “wind” Naruto yang menyayat hati.

Hajar Nur Setyowati, hajar.ns@gmail.com

Read More......

Jumat, 04 April 2008

Sekaten edisi 2

Setelah semalam mengunjungi sekaten, esok siangnya, tanpa sengaja, saya menemukan corat-coret isi surat kabar Hindia Baroe tertanggal 17 Agustus 1925.

Tulisan ini saya cari-cari sewaktu saya menulis tentang sekaten babak pertama. Saya akan sedikit menulis sari pati tulisan itu plus mengutip langsung beberapa kalimat,
Sekaten telah bertukar sifat, tadinya dimaksudkan untuk menghormati kemuliaan hari lahir nabi atau berkaitan dengan perkara agama, kini sekaten tak ubahnya pasar malam biasa layaknya pasar Gambir yang diadakan juga sekali dalam setahun di Batavia.
Tahun itu, rencananya pemerintah akan memagar ¾ alun-alun dengan gedek alias dinding yang terbuat dari anyaman bamboo. Maka toko-toko dan tontonan yang memakai tempat lebih dari 3 elo persegi, mesti memakai tempat di dalam tutupan dengan membayar sewa tanah atau sewa pondokan (stan), atau juga panggungnya. Dan bukan saja penyewa stan yang ditarik uang, tetapi juga para pengunjung harus membayar uang masuk sebesar 5 sen. Atas dasar itu juga, sang penulis lantas membuat analogi yang cerkas, “Pasar Gambir pindah Jogja”.
“Sifat yang demikian itu persis sifat pasar Gambir di Betawi itu, jadi boleh penulis sebut pasar Gambir pindah Jogja.”
Penulis seakan terheran-heran, “pemerintah Jogja akan mengubah dasar dan sifat keramaian sekaten itu dengan tidak mengingati bahwa keramaian itu kepunyaan orang umum di Jogja, baikpun orang kota maupun orang desa. Rupanya hak itu akan digagahi oleh pemerintah Jogja yang berarti mencabut hak orang banyak (hak keramaian). Yang dikuatiri adalah pikiran dan perasaan orang desa, karena mereka pergi ke alun-alun untuk mengambil berkah dari sekaten, dan melihat keramaian sekaten juga tontonan di alun-alun, yang mereka merasa diadakan oleh sinuhun dan itu sebagai kemurahan sinuhun”.
Semalam, saya bersama adik lelaki alias si bungsu, juga ponakan saya yang mintanya dipanggil adik itu, akhirnya pergi juga ke sekaten. Kami sengaja berangkat tak memakai motor, selain alasan hujan, juga karena ingin mencobai bus transJogja. Kami turun di halte Vrederbeurgh, menyusuri jalanan nol kilometer.
Jogja, tetap saja manis juga romantis kalau malam begini, meski hujan turun. Sepintas, sekaten tetap saja seperti dahulu, berjejer penjual berondong, aromanis, tahu petis, bolang-baling, dan tiba-tiba adik saya menyeletuk, “mbak, itu lho wayangnya.” Saya menoleh, seorang lelaki tua sedang mengatur banyak wayang di atas kain putih, saya melihat ada gareng juga petruk, tapi saya terus berlalu.
Sebelum berangkat, di meja makan, ayah memang sempat mengenang, kalau dahulu, Fais, adik saya, tidak akan pulang dari sekaten sebelum membeli wayang-wayangan. Tadinya, saya penasaran, karena selama ini mata saya tak jeli menemukan penjual wayang di sekaten, sampai kemudian saya berniat membeli untuk menambah hiasan kamar yang baru saja saya tata. “mosok dari dulu cuma caping hiasan kamar yang nyentrik”, tapi malam itu niatan saya terbatalkan.
Kalau ponakan saya ini, langganan main ombak, yakni salah satu jenis permainan yang ditawarkan di pasar malam, setidaknya selain rumah hantu, permainan ini lumayan seru, karena pengunjung yang duduk di kursi dari papan yang disusun melingkar dan mengambang, bakal digoyang-goyang ke atas maupun ke bawah seperti naik kapal lantas digoyang ombak.
Tapi saya paling tak suka berlama-lama di arena permainan, tak lama kami sudah berlari kecil memasuki kawasan paling ramai di 7 hari terakhir perayaan sekaten, yakni depan masjid gede.
Hujan mengguyur Jogja makin deras, saya lihat para penjual telor merah yang ditusukkan (khas sekaten) tak lagi berjejalan di sekitaran depan masjid besar sebagaimana biasa, karena beberapa perempuan tua penjual telur dan sirih mesti menyingkir ke pinggir, sekadar berteduh.
Sengaja saya memilih warung nasi gurih tepat di depan masjd, agar bisa menyaksikan kerumunan warga menonton gamelan, juga orang-orang yang memenuhi kursi di tempat berlangsungnya ceramah yang dibawakan oleh seorang perempuan (Aisyiyah), pada mimbar yang diletakkan di bangunan sekitar pintu masuk kawasan masjid besar sebelah timur.
Tapi kali ini, saya datang dengan rasa dan pikiran yang berbeda dari tahun lalu. Muasalnya adalah hasil pembacaan saya pada Koran tua 1925, yang memuat kesibukan Muhammadiyah termasuk Aisyiyah saat berlangsungnya perayaan sekaten. Dan salah satu yang diungkapkan ialah perihal ceramah oleh muballighoh Aisyiyah, yang sampai kini berlangsung, dan tepat sejauh mata saya memandang. Sayangnya, jam belum menunjuk pukul 20.00, sehingga ceramah belum juga dimulai, padahal hujan makin lebat, dan saya mesti kembali selekasnya.
Gamelan mulai ditabuh, ceramah mulai dibuka, tetapi saya mesti juga pulang, saya sempatkan membeli telur barang 3 butir, plus daun sirih dan sirih kering yang biasa digunakan untuk menyirih, dengan bunga kanthil di ujungnya. “Ini berkah sekaten mas,” perempuan tua penjual menerangkan, “selain telur, tambah sirih ya mas, nanti bunga kanthilnya disimpan di dompet biar rezeki nambah, kalau masih sekolah, bunganya taruh saja di selipan buku, biar pinter”, senyum kami makin lebar dari sebelumnya, “ya, bu, beli 2 ya, (mesti kami tak tahu bakal diapakan daun sirih juga bunga kanthil itu nantinya, saya kuatir barang itu bakal berakhir di plastic hitam dan ujung-ujungnya tempat sampah).
Perempuan penjual lain lewat, “wah mbah, payu iki”, si mbok menimpali, “tapi hujan je”, perempuan penjual yang lewat balik membalas, “tapi laku tho,” Lantas kata si mbok, “iya, syukur hujan ya,” Saya cuma mbatin, orang Jawa itu, pancen paling bisa kalau disarankan menerima dan mensyukuri hidup, meski kadang suka salah kaprah. Contohnya ya ibu penjual telur abang tadi.
Kami bergegas pulang, tapi ponakan saya tetap ngotot, “aunty, beli telur di ibu yang duduk di pinggir dinding itu lho, kasihan udah tua”. Saya lihat, seorang perempuan tua, yang melindungi tubuhnya bersama barang dagangannya dengan plastic putih transparan, plastic itu benar-benar basah, tapi ia tetap saja menyusun telur, tanpa tahu buat apa, kami beli saja telut merah utuk kali kedua. Begitu naik taksi, ponakan saya nylethuk, “besok kalau ke sekaten, aku ga mau main, Cuma beli aromanis, ngasih uang ibu-ibu tua tadi, terus beli nasi gurih dan aromanis.” Buat saya, itu kabar gembira dari langit, apalagi dia kembali mengulang keinsyafan itu begitu kami masuk pintu rumah. Jogja selalu hujan di malam hari juga saat siang, setidaknya semenjak 2 hari lalu saya tiba di Jogja, sugeng rawuh Jogja..

Read More......

Selasa, 11 Maret 2008

Poengoetan Oeang Masoek Sekaten (1925)

Lebih dari 1 bulan yang lalu, saya menemukan artikel menarik, tentu saja menarik versi saya atau barangkali juga masyarakat Yogyakarta, tempat berlangsungnya tradisi sekaten hingga kini. Mengapa sekaten?
Karena memang artikel ini bicara tentang sekaten di tahun 1925, tepatnya perkara pungutan uang masuk perayaan sekaten, yang semakin lestari sampai kini.
Berita ini, saya dapatkan dari surat kabar Bendera Islam, sewaktu menggumuli koran tua untuk penulisan kronik Indonesia 1925.

Bendera Islam, 10 Agustus 1925.
Atas ihtiar Sarekat Islam diadakan rapat protes pada 7 Agustus 1925 yang mengambil tempat di rumah Djajeng Parkosan, Ngabean. Dalam rapat ini hadir antara lain, CSI, Siong Boe Tiong Hwee, Muhammadiyah, Centraal Tiong Hwa, Wal-Fadjrie, komite penengah penghinaan, SI Garut dan Islamiyah. Sementara dari kalangan pers, datang meliput yakni, Penggoegah, Tjamboek, Bendera Islam, Sin Po, Sien Jiet Po, Warna Warta, Perniagaan, Djawa Tengah, Keng Po, Sien Bien, Hindia Braoe, Soeara Publik, Tjien Po, Pewarta Surabaya, Bintang Islam, Sri Djojo Bojo, dan Sedio Tomo.
Terlihat banyak penduduk termasuk masyarakat Tiong Hwa yang ikut menghadiri rapat ini, yakni sekitar 200 orang Tiong Hwa, karena kedatangan mereka dalam jumlah besar memang amat diharapkan. Rapat protes yang melibatkan penjagaan dari kepanduan SI dan Wal-Fadjrie ini dibuka oleh Soerjopranoto pada pukul 09.00, dan sesudah kaum muslim membaca al-Fatihah dan pemeluk agama lain dipersilahkan berdoa sesuai keyakinannya masing-masing, Soerjopranoto lantas menyampaikan maksus diadakannya rapat ini,
1. Ajakan persatuan dan persaudaraan antar manusia.
2. Melahirkan protes perihal keberatan mereka seputar tindasan pajak, rencana hendak memungut entrée (uang masuk) dalam keramaian sekaten, dan pencabutan hak berkumpul di Semarang.
Mereka yang tampil berpidato pada rapat ini yaitu, H.M. Soedja yang bicara tentang persatuan dan persaudaraan antar manusia.OS Tjokroaminoto berpidato tentang mono humanisme (persatuan manusia) juga sikap SI pada persatuan manusia atau nasionalisme dan patriotisme. Giliran pembicara berikutnya ialah Soerjopranoto yang membahas perkara pajak, bahwa selain 2 jenis pajak baik langsung (dibayar langsung pada negeri) dan tidak langsung, kini ada lagi ditambah yakni, “pajaknya pajak”, yang disebut juga opcenten de belastingen.
Dan di Yogyakarta telah mulai ada opcent (kenaikan pajak menurut presentase) dari pajak ini dan itu, serta ada juga pajak tak langsung yang halus sekali alias tak kentara: pungutan uang masuk ke tempat perayaan sekaten. Lantas diusulkan agar meminta utusan SI Yogyakarta untuk bertemu residen mempermaklumkan keberatan itu, apalagi rakyat Hindia telah membayar aneka rupa pajak, meski kesusahan berlipat-lipat.

Ada lagi artikel lain dalam Hindia Baroe (metamorfosa surat kabar Neratja) yang, lagi-lagi memberitakan perkara yang sama: pungutan entree (uang masuk) dalam perayaan sekaten. Hanya saja dengan argumentasi lain, ia bilang, acara sekaten bukan acara komersil, acara ini adalah acara budaya sekaligus acara keagamaan. Bagaimana bisa pemerintah justru hendak menarik uang masuk, yang berarti telah merubah maksud acara menjadi acara komersil.
Orang-orang Jogja dari manapun termasuk mereka yang tinggal di desa-desa dan jauh dari kota selalu berduyun-duyun mendatangi sekaten, bukan apa, mereka datang ke perayaan tahunan ini, sebagai warisan tradisi dari sesepuh mereka, dan tiadanya uang masuk sekaten selama ini, mereka maknai sebagai rasa welas asih sang raja Jogja. Bisa dibayangkan, apa baka mereka bilang juga pikirkan?

Artikel ini bagus juga menangkap makna intrinsik perayaan sekaten, dan denagn jitu digunakannya sebagai dalih menolak pungutan uang masuk sekaten. Tapi artikel ini membuat saya nyinyir, karena pungutan uang masuk sekaten yang lestari hingga sekarang dan terus merangkak naik, adakah yang pernah mempertanyakan?

Entah esok atau lusa saya bakal hengkang dari Jakarta menuju Jogja, kota yang membuat saya tertawan pada rindu. Adik perempuan saya yang masih duduk di kelas 6 SD sudah sedari pekan-pekan kemarin menagih kedatangan saya ke Jogja untuk menemaninya ke sekaten sebagaimana biasa. Tapi sudah beberapa tahun ini,saya selalu mendatangi sekaten di pekan terakhir perayaan. Bila bukan karena mengantar adik, saya takkan mampir ke ruang pameran atau memilih permainan pasar malam. Karena bukan itu yang memesona, saya lebih suka pergi ke depan masjid besar, makan nasi gurih, membeli telur dari perempuan tua, menyaksikan gamelan bertalu, dan melihat seorang perempuan alias muballighah Aisjijah mengisi pengajian malam juga di depan masjid besar.
Untuk yang saya sebut terakhir ini,ternyata adalah tradisi tua,yang saya temukan juga dalam kronik saya. Karena dahulu, Muhammadiyah selalu punya rangkaianagenda menyambut maulud nabi terutama lewat perayaan sekaten. Macam-macam acaranya, termasuk bagian Taman Pustaka Muhammadiyah yang punya stan dalam pameran. Entah, sepertinya tak semua acara itu, masih ada sampai sekarang,termasuk bahwa Muhammadiyah merasa sangat perlu untuk membuat aneka kegiatan, karena banyak sekali poin kegiatan yang dahulu digelarnya.
Kembali soal sekaten, hanya saja sekarang tak hanya penjaja nasi gurih yang ada,tetapi juga pedagang bakso dan mie ayam, yang memakan banyak space juga di depan masjid. Tetapi tetap saja saya akan menyambangi depan masjid itu, dan makan nasi gurih, tentu sambil mengajak adik saya, jangan sampai dia hanya mengenal permainan-permainan yang ditawarkan pasar malam, tapi dia perlu diajak juga merasai khidmatnya perayaan sekaten, bersama orang-orang desa yang masih saja berduyun, bergerombol naik truk dan memarkirnya di terminal Serangan guna merasai welas asih sang raja, dan mendengar hikmah maulud. Bagaimana dengan anda?

Read More......

Minggu, 03 Februari 2008

Kata Per(empoe)an

Ini sekadar tulisan tentang penggunaan kata wanita, perempoean, kaum isteri, ataupun kaum iboe.
Keempat kata itu sama-sama merujuk pada makhluk yang diberi karunia organ reproduksi, dan masing-masing dari keempat kata itu pernah mengalami masa jaya. Saya, selaku perempuan yang baru berusia seper-empat abad, alias belum sampai 3 dekade saya hidup, tentu lebih mengenali kata wanita terlebih dahulu tinimbang mengenal kata perempuan dalam kosakata sehari-hari. Maklum saja, kebanyakan perempuan Indonesia memang sempat terlalu lama mengakrabi kata "wanita", terutama semasa Ibu Tien, perempuan berdarah Mangkoenegaran itu menjadi ibu negara. Usut punya usut, kata wanita memang kait mengait dengan mereka yang tergolong perempuan priyayi. Nah tentang ini, tentu saja mesti dituliskan pada posting-an yang lain.
Lantas begitu orde baru tumbang, nama-nama organisasi perempuan yang dahulu banyak menggunakan kata wanita (ini terutama berlaku pada organisasi yang berafiliasi dengan pemerintah) mulai berganti lidah dan berubah kata menjadi perempuan. Mereka yang mengidentifikasi pikirannya dengan ide bahwa makhluk beralat kelamin vagina ini layak bersetara ria dengan para lelaki, tentu saja memilih menggunakan kata perempuan, dan merasai kelu pada lidahnya bila mesti menyebut kaumnya dengan kata wanita. Sebaliknya, mereka yang mengidentifikasi dirinya selaku barisan anti kesetaraan akan merasa berdosa bila ikut-ikutan menyebut kata perempuan, mereka serasa takut dilaknat Tuhan.
Masing-masing penganut dua kata ini, tentu telah menyusun argumen untuk mengukuhkan pendiriannya, termasuk pengguna kata perempuan. Nah, bukan kebetulan bila peristiwa monumental yang diaku dalam pergerakan perempuan Indonesia ialah perhelatan yang diberi nama Kongres Perempuan Indonesia dan bukan Kongres Wanita Indonesia. Ketika itu orang lebih mengakrabi kata perempuan ketimbang kata wanita, bahkan kata kaum isteri maupun kata kaum ibu jauh lebih populer daripada kata wanita.
Buka saja dokumen-dokumen sejarah maupun koran-koran tua kisaran masa pergerakan nasional. Anda akan mendapati ketiga kata itu(perempuan, kaum ibu, kaum istri) lebih sering dikenakan daripada kata wanita. Coba anda perhatikan juga nama-nama organisasi perempuan masa pergerakan. Tak banyak yang mengunakan kata wanita, setidaknya tidak lebih banyak daripada nama-nama perkumpulan yang menggunakan kata perempuan, isteri, iboe, maupun poetri.
Yang kebetulan justru, bahwa saya menemukan tulisan perihal arti kata perempuan dan implikasi arti kata perempuan bagi kaum ibu Indonesia. Tulisan itu dimuat dalam surat kabar Njala, organ milik pengurus besar PKI, tertanggal 9 November 1925.
Saya persilahkan anda menyimaknya:
Perempoean, asal katanya empoe, yang mendapat awalan per- dan akhiran -an. Empoe berarti Toean, ketua, pemberi nasehat, petunjuk, penolong atau pendek kata suatu kedudukan yang mesti dihormati.
Empoe dalam bahasa Jawa berarti tukang bikin keris dan tidak sembarang orang bisa melakukannya karena mesti berilmu tinggi dan berhati suci. Empu berarti nama dari suatu pangkat yang besar dan mulia yang terdapat dari perbuatannya.
Awalan per- dan akhiran -an menerangkan suatu perbuatan, misal bantah-perbantahan, berarti nama dari perbuatan bantah-bantahan. Perempoean ialah nama dari perbuatan empu baik itu penolong, pemberi nasehat, dan penuntun. Perempoean berarti nama angkat yang harus dihormati dan dimuliakan karena perbuatannya. Lantas perbuatan apa yang harus dilakukan perempuan agar bersesuaian dengan arti kata empoe? Maka sekalian ibu mesti memberi tuntunan pada anak-anak supaya:
1. Mengetahui harga dirinya.
2. Tidak merongkong-rongkong dan menyembah-nyembah seperti budak belian.
3. Mendidik anak-anak kita supaya punya darah satria.
4. Mendidik anak-anaknya supaya cinta tanah tumpah darah, bangsa dan sesama hidup.
5. Memberi tahu anaknya apa rasanya orang tertindas, dan membangunkan hati mereka agar punya keberanian hati menuntut hak sebagai manusia.
6. bangunkan hati mereka, supaya jangan lembek hati, dan menyerahkan nasib pada orang lain.
Apa komentar anda membaca tulisan yang telah dipublikasikan 82 tahun yang lalu?

Read More......

Selasa, 15 Januari 2008

Teks Agama

Tiga minggu sebelum ujian sampai hari ini, saya mulai lagi sering ke masjid dan sedikit banyak mewarnai waktu dengan aktivitas di masjid.. saya sedang mengurus pengajian anak di masjid, ternyata saya memang menyukai dunia anak-anak.. hehe. sewaktu masih di ekspresi, saya tetap meluangkan waktu mengurus pengajian anak sebagai refreshing..

Saya mulai membuat perpustakaan anak, baik di masjid atau di langgar. Saya ingin masjid tidak saja identik dengan aktifitas ritual tetapi juga identik dengan belajar.. lumayan, anak-anak rata-rata sudah mau baca buku sampai beberapa hilang (hehe) biar tak sekadar kenal televisi dan PS.

Lomba anak-anak juga tidak identik denagn lomba sholat, adzan, menghafal surat tetapi juga lomba menulis dan membaca puisi.
tetapi akhir-akhir ini, saya sedikit gusar. Apa pasal? lagi-lagi saya bertemu dengan orang yang terlampau tekstual menghadapi teks agama, yang percaya saja pada isi teks selama itu buku dikarang ulama besar tanpa mencoba melihat pendapat lain yang berbeda. Kebanyakan orang-orang tekstual keras kepala, matanglah sudah..

Begini kisahnya, mulanya saya menjadwal materi hari ahad adalah materi bebas. Bisa menulis, bermain, bernyanyi, menonton film dan apa saja yang menyenangkan. Panitia remaja yang rata-rata masih abg ingin mengisi materi lewat menyanyi. Mereka puya bekal alat musik seperti gitar dan ketipung. Ku pikir bercanda, Edi, seseorang yang mengaku ingin menerapkan pola Islam (ala siapa?), bilang menyanyi tidak boleh. Itu disampaikannya pada Romi, panitia yang masih duduk kelas 2 SMP dan suka nge-band. Saya bilang, menyanyi itu boleh, ahad besok Romi saya bilang agar tetap tampil.

Satu hari setelahnya, Romi menyerahkan kertas, katanya titipan dari Edi untuk saya. Saya baca, ternyata dia menulis argumen-argumen mengapa menyanyi dihukumi haram, apalagi pakai gitar dan ketipung, saya mah cuma bisa cengengesan. "Gimana mbak", kata Romi seperti ikut gusar. "Ga papa, kalian tetap ngisi ya besok ahad." Saya penasaran juga dengan argumen Edi, saya memang pernah mendengar ada ulama yang mengharamkan, lalu saya tanya pada ibu. Ibu sedikit menjelaskan, nyanyi hukumnya mubah, berarti boleh asal tidak keluar kaidahlah. Tetapi saya masih juga penasaran dengan ayat dalam surat luqman yang ia pakai untuk menjustifikasi larangan menyanyi. saya buka tafsir maraghi yang kebetulan ibu mengkoleksi. Ternyata walah ternyata, itu surat memang mengindikasikan larangan menyanyi, tetapi asbabun nuzulnya bisa membuat kita lebih arif menyimpulkan hukum menyanyi.

Lain hari, saya melihat tempelan di papan pengumuman masjid. Kebetulan satu hari pasca ujian alias 3 hari puasa saya dapat mens, jadi saya tidak intens ke masjid kecuali sore. Saya dapati tiga lembar kertas ditempel memanjang berjudul "bahayanya perempuan bagi laki-laki" lalu satu lembar tulisan "hukum wanita tidak berjilbab".. waduw.. serem amit itu tulisan.. isinya seputar neraka.. yang terbayang dalam pikiran saya cuma para ulama klasik yang memang menempatkan perempuan sangat-sangat terpinggir.. layaknya bakteri yang siap merusak kekebalan tubuh manusia... rada reaktif juga nih, kontan saya copot tu kertas dan saya pindahin ke ruang sekretrariat..
waduw dah sore, saya terlalu lama di warnet.. musti hengkang.. bersambung ya..

Read More......

Soewarni

sudah tiga hari lebih, aku selesai menuliskan Soewarni. dia kakak Soewarsih Djojopoespito, penulis novel "manusia bebas".
Beberapa kali aku menulis tentang perempuan masa pergerakan, pasti tidak luput menulis kata poligami. apalagi saat menuliskan Soewarni.
Ia paling getol menentang poligami sampai-sampai perlawanannya pada perilaku lelaki beristri lebih dari satu itu, saya jadikan fokus utama. Dia juga perempuan yang bertikai dengan Ratna Sari, gara-gara aktivis Permi itu berapi-api di atas podium seakan menghalalkan poligami. Ia juga terkenal tajam menyindir tingkah lelaki, dalam forum itu saja ia mengatai laki-laki seperti ayam jago yang suka mengumpulkan perempuan.

Ee.. para lelaki yang duduk di belakang malah menanggapi dengan berseru pelan "kukuruyuk". Tentu saja, makin panaslah Soewarni.. (cerita tentang ini bisa didapatkan dalam biografi Maria Ulfah Santoso maupun Sujatin Kartowijono, atau cek langsung saja di koran-koran tahun 1935an. kata-kata "Lelaki seperti ayam jago" bahkan dipilih oleh Gadis Rasid menjadi sub judul dalam biografi Maria Ulfah Santoso yang ia tulis.

Soewarni juga perempuan pendiri organisasi Istri Sedar yang dikenal sebagai organisasi perempuan radikal awal tahun 1930-an, sayang tulisan tentang Soewarni atau Istri Sedar tidak banyak ditulis. Saya sendiri mengumpulkan dari tulisan yang tercecer, majalah Sedar (1930-an), dan tulisan E. Du Perron yang sempat datang pada konggres Istri Sedar. .
Tetapi begitu tulisan tuntas, saya puas, karena menulis tentang seseorang yang jarang tertulis..

Read More......

S(urastri) K(arma) Trimurti

sore ini tulisan tentang Surastri Karma Trimurti alias SK Trimurti selesai sudah.
Perempuan kelahiran boyolali ini telah merasai kejahatan fisik utawa kejahatan mental yang diberikan penjara secara cuma-cuma. Tubuhnya pernah ringsek disiksa kejam oleh Nedaci, seorang kenpeitai.

Tetapi di penjara Jurnatan, Semarang, tempat penyiksaan Trimurti berlangsung, Nedaci justru menyuguhkan sisi lainnya yang paling manusiawi. Karena di tempat itu ia berterus terang bahwa ia mencintai Sukapti, adik Trimurti.

Tetapi Trimurti juga berhak berterus terang tntg rasa yang paling manusiawi dari seorang tahanan yang dipukul sampai tak lagi mampu merasai sakit dari tubuhnya yang lebam. Tentu saja ia tolak mentah permintaan Nedaci untuk mengawini sah adiknya. Karena mengamini lamaran berarti meruntuhnya harga diri Trimurti, perangkat diri yang tersisa dari seorang tawanan.

S.K. Trimurti memang tak hanya dikenal sebagai tawanan, tetapi juga seorang jurnalis yang membuatnya berkenalan untuk kali pertama dengan terali besi. Ia sempat juga menjadi menteri perburuhan kabinet pimpinan perdana menteri Amir Syarifuddin. Sayang, usia kementriannya hanya berlaku tujuh bulan. karena Amir harus serahkan mandat pada bung Karno, yang menunjuk setelahnya seorang Hatta sebagai formatir kabinet.

Tetapi hikayat Trimurti dalam tahanan lebih "basah" untuk ditulis. Terakhir kali ia meringkuk dalam tahanan, gara-gara nasib apesnya yang dituding terlibat dalam peristiwa Madiun. ia sempat ditaruh dalam ruang, dan tidur di atas meja tulis kecil. yang membuatnya tidak bisa tidur, bukan saja perkara kecilnya meja, tetapi juga ujung bayonet prajurit yang sering mampir di kamarnya dan ditudingkan tepat di depan mukanya, sembari dikatai penghianatlah, atau sesekali diludahi meski tak mengenai mukanya.

Trimurti memang tak saja harus mendekam dalam bui selama masa kolonial, entah itu Belanda utawa Jepang. Tetapi ia harus pula meringkuk dalam penjara sesudah kemerdekaan diproklamasikan, momen paling historis kepunyaan negeri ini, yang ia tunggu dengan jantung berdegup. Trimurti tidak saja menunggu, tapi ia juga menyaksikannya dari pegangsaan timur no 56..

Read More......

Bahasa (katanya) ilmiah skripsi

lama tidak menulis dengan bebas.. karena apa? karena saya sedang dilumat menulis skripsi. penulisan skripsi yang katanya musti menggunakan ejaan yang disempurnakan, tata tulis, juga bahasa yang ilmiah. Apa kriteria ilmiah, metode penelitian bukan? mengapa tulisan saya tiba-tiba dikatakan tidak ilmiah hanya karena bahasanya dianggap tidak ilmiah. pantas, karya ilmiah tak banyak dibaca orang (kecuali mahasiswa yang sedang mencontek bahasan untuk tugas dan mahasiswa yang sedang akan skripsi).

Skripsi banyak teronggrok di rak-rak perpustakaan, mulai perpustakaan jurusan, fakultas sampai perpus univ. jangan-jangan salah satu faktornya ialah karena skripsi tak enak dibaca. orang yang mengaku sok akademis berdalih, "yah.. karena itu konsumsi orang akademis." Alah, apa seh guna bahasa? fungsi esensial bahasa menjadi tidak maksimal karena terkungkung aturan bahasa yang dikategorikan ilmiah. walah-walah..

Read More......

Pre Exam

lama sekali saya tak berkunjung ke warnet, salah satunya akibat persiapan ujian skripsi, jum'at, 14 september 2007. buat seorang mahasiswi yang tercatat sudah tinggal hampir 6 setengah tahun di kampus.. tidak ada kata paling tepat selain, "akhirnya..". Bbukan saja saya yang lega, tetapi juga keluarga, teman dan yang pasti adek-adek kelas yang terlanjur bosan menemaniku mendalami materi alias ngulang. hehe..

selesai ujian bukan berarti selesai urusan, ada revisi dan tetek bengek lainnya yang pemanasannya sudah ku lalui sebelum ujian.. mulai bersabar menghadapi birokrasi adm kuliah yang ribet dan menjadi satu hal yang tidak aku sukai sampai bertahan tak larut mendebat dosen yang tidak maksimal membimbing (apalagi hasrat selesai kuliah tak bisa ditawar lagi) juga pengajar lain yang suka ribut termasuk soal etika mahasiswa.

menjadi sarjana bukan sesuatu yang layak dibanggakan. Buat aku sendiri, ini sekadar prinsip agar terbiasa menuntaskan sesuatu, kedua, perkara orang tua apalagi keinginan ibu yang tak kuasa ku tolak. Barangkali ada beberapa alasan lain sehingga menuntaskan kuliah adalah sebuah pilihan saja, bukan kewajiban..

sekarang saya musti berhijrah ke uin (saya lebih suka menyebutnya IAIN) untuk menuntaskan studi di tafsir hadis, program studi yang saya tidak punya kegandrungan blas. Semua seperti air mengalir sehingga saya musti terdampar di sana. meski ada hikmah terutama ini saya rasakan saat saya balik ke masjid bertemu orang-orang yang memahami teks agama secara tekstual, tanpa pernah berfikir untuk lebih kritis apalagi terhadap para ulama pembuat teks..

Read More......

Senin, 14 Januari 2008

Menemukan Soeara Moehammadijah 1925

Hari ini saya tak menjajaki lantai 8 atau 4 perpustakaan nasional sebagaimana biasanya, karena hari ini saya putuskan meringkuk di lantai 7, tempat majalah tua disimpan, termasuk Soeara Moehammadijah, orgaan milik perkumpulan Moehammadijah. Tampilan fisiknya makin rapuh tak karuan, saya disergap takut bila usia majalah tak lama lagi karena kertas yang lapuk dan tentu saja mrithili". Padahal kesadaran apalagi naluri mendokumentasikan plus merawat sumber sejarah masihlah minim di negeri saya.

Karena saya menggarap kronik tahun 1925, tentu saja saya memesan majalah Soeara Moehammadijah tahun 1925, tetapi yang disodorkan justru majalah tahun 1932-1935. Waduw.. tetapi begitu saya lihat lebih cermat bahwa ibu petugas itu memakai kaca mata, saya cuma bisa membatin, "paling neh ibu salah lihat, capek deh..". ee.. setelah ibu mencari sebentar pesanan saya selanjutnya yakni Asjraq, majalah perempuan Sumatera Barat dan Barisan Ibu (majalah kaum istri Bandung) plus mencari lagi Soeara Moehammadijah pesanan saya, dia cuma bisa menyodorkan 1 bundel tipis berisi 3 majalah Asjraq sambil bilang, "Barisan Istrinya ga ada (padahal saya sempat bertambah semangat gara-gara menemukan majalah perempuan tahun 1925, yang berarti saya dapat semakin banyak menemukan sekaligus bakal mencantumkan partikel sejarah perempuan Indonesia). Kalau Soeara Mohammadijah? tanya saya, "ga ada." kata ibu itu polos. Spontan saja saya jawab sambil berjalan ke arahnya, "masa seh bu," dia cuma bisa menimpali, "lihat saja deh", sebenarnya, kata-kata inilah yang saya tunggu, agar saya bisa masuk ruang tempat penyimpanan majalah yang sebenarnya tak semua pengunjung bisa masuk. Pernah, beberapa kali sambil masuk, saya celingak-celinguk barangkali saja ada majalah-majalah bagus atau referensi sejarah yang saya butuhkan, dan tidak jarang celingukan saya membuahkan hasil, hehe.

Kali ini, saya sempat dibuat deg-degan, karena memang dalam label tahun pada majalah Soeara Moehammadijah, saya tidak mendapati angka tahun yang saya cari. Tapi saya nekat buka satu per-satu bendel majalah yang saya cari, kali aja, petugas tidak jeli mengklasifikasi angka tahun, karena Soeara Moehammadijah memberlakukan penanggalan hijriah, sampai saya sempat pusing dibuatnya, meski saya tahu, alasan penggunaannya amatlah ideologis. Aha.. ternyata benar saja, ada satu bendel tanpa angka tahun, begitu dibuka hanya tertulis tahun 1927, saya beradu keberuntungan, kali aja, tahun 1925 nylempit di antara lembaran-lembaran. Dan dugaan saya tak meleset, bendelan itu memang majalah dengan angka tahun yang saya cari: 1925, meski tak jelas nomor edisinya sehingga mempersulit penulisan sumber saya. "Tak apalah, ketemu aja beruntung, hihi).

Read More......

Kamis, 10 Januari 2008

Kroniek..

hampir 2 pekan saya mengerjakan kronik tahun 1921..
membuat kronik serasa ikut mata kuliah filsafat sejarah, tentang ini saya akan menuliskannya kapan-kapan. Karena malam ini, mata saya serasa diujung tanduk bantal. Apalagi saya sudah membuat janji dengan mami internaat kronik untuk saling mengendorkan syaraf dan membuat lancar aliran darah di badan, alias saya perlu segera pijat-pijat-an.hehe..

malam ini, saya ingin mengatakan satu hal: saya menyesal sudah, karena kesadaran bahwa saya tidak saja harus menggarap kronik Indonesia, tetapi mesti membuat catatan harian selama saya membuat kronik, justru baru muncul di tengah proses penggarapan. Bukankah segala sesuatu akan lebih baik bila dimulai dari diri sendiri, termasuk kerja keras bertahan membuat catatan kegiatan saban hari. hm..
Pagi ini, saya menyambangi stasiun Gambir, karena KRL Ac Bekasi-Jakarta turun di Gambir. Stasiun ini tetap saja menjadi stasiun "kelas satu", karena hanya kereta eksekutif yang diizinkan berhenti bahkan tidak untuk bisnis. Stasiun ini adalah saksi terlalu banyak peristiwa semenjak masa kolonial.
Bila tidak salah, pekan lalu, saya menulis tentang prosesi pergantian gubernur jenderal dari Graaf van Limburg Stirum ke De Fock. Setelah turun dari kapal yang dikawal dua kapal torpedo dan dua mesin (pesawat) terbang di Tanjung Priok, sang gubernur jenderal berangkat menuju Weltevreden menggunakan kereta dan turun di stasiun Gambir. Tentu saja, banyak pejabat pemerintahan yang menjemput, lantas membawanya pergi menuju istana Merdeka. Di sana, Limburg Stirum telah menunggu sambil menanti menit per menit sebelum upacara serah terima jabatan dilangsungkan, meski Graaf Limburgh, dan Gravin, istrinya sudah terlampau sayang pada tanah Hindia yang membuat Nederland berlimpah uang karena rempah. Di stasiun ini pula, Graaf mengawali perjalanan sebelum akhirnya benar-benar pulang kampuang meninggalkan Hindia. Riuh orang mengantar kepergian jenderal yang telah menjabat 30 tahun lamanya ini. Dan lagi-lagi itu terlalu sering terjadi di stasiun Gambir. Tetapi saya tidak tahu pasti, di sebelah mana, sang gubernur jenderal itu berdiri, melambaikan tangan mengucap kata pisah.. jangan-jangan tepat di mana saya tadi berhenti dan memulai langkah, hahaha. ah, gambir..

Read More......

Kongres Para Tabib

Hindia Belanda pernah menjadi tuan rumah dalam kongres tabib yang telah dimulai sejak 6 agustus. Para dokter dari banyak negara ikut hadir dalam kongres yang diketuai Dr de Vogel. Acara dimulai dengan pemilihan pengurus kongres di societeit Concordia yang dihadiri oleh 70 dokter. Sorenya sekitar pukul 18.00, peserta kongres dijamu di istana Rijswijk oleh Gubernur Jenderal. Hadir juga para pembesar negeri seperti anggota Raad van Indie, anggota Volksraad, kepala departemen, dan residen. Dalam forum itu, Gubernur Jenderal berpidato dengan 4 bahasa yaitu Inggris, Perancis, Jerman, dan Belanda.(lumayan juga ne Dirk Kock ..)

Esoknya beberapa peserta berkunjung ke pulau Onrust dan pergi ke Bogor mengunjungi rumah sakit jiwa. Baru 1 hari kemudian dimulai lagi acara kongres yang kebanyakan hari itu berisi pidato-pidato dari pada dokter tentang wacana ketabiban seperti penyakit pes, kelemasan urat pada kuda, bengkak-bengkak sakit perempuan juga tentang vitamin, dan ada masih banyak lagi pidato dari para dokter peserta kongres.

Nah di antara beberapa pidato yang dibacakan hari itu, ada judul yang sempat menarik perhatian saya, yaitu tentang Budi Perasaan dari Anak-anak Negeri Hindia Sejati dan Tambahan untuk Ilmu Boedi Perasaan Anak Hindia. Yang pertama melintas dalam pikiran tentang dua tulisan ini ialah, bahwa pidato yang ditulis oleh Dr Kits van Heyningen dan WF. Theunissen ini barangkali berisi simpati terhadap kondisi penduduk dari wilayah yang terjajah.

Dalam Neratja, surat kabar di (antara) mana saya membaca berita ihwal kongres tabib ini memang tidak disebutkan dengan detail tentang isi pidato, tetapi ada sedikit ringkasan pidato. Dan ternyata dugaan saya dengan isi pidato itu salah kaprah . (walah-walah). Lantas apa isi pidato itu secara general?

Barangkali dua tulisan itu bisa dibilang sedikit bersifat empatik terhadap kondisi masyarakat Hindia Belanda, tetapi ternyata logika yang digunakan adalah logika kaum penjajah. Yang saya maksud dengan logika para kolonial adalah bahwa mereka merasa sebagai bangsa beradab, dan masyarakat yang berasal dari wilayah terjajah adalah masyarakat tanpa peradaban, sehingga perlu diberi ilmu budi agar beradab. Kasihan benar bukan? Hindia Belanda yang sekenanya dikatakan sebagai bangsa tanpa perdaban sehingga musti dikasih pengetahuan juga ilmu etika agar beradab.

Pertanyaannya, lantas apa arti beradab? Bukankah melakukan eksploitasi material, politis dan sosial atas wilayah yang bukan miliknya jauh tidak lebih beradab? Pancen, penjajah tetap penjajah!! Tapi tetep saja seh, kita tidak mungkin memungkiri bahwa pergerakan nasional belum tentu muncul tanpa pendidikan yang diselenggarakan oleh bangsa penjajah itu. (loh..)

Read More......

Eyang Sartono

Kabar wafatnya sang maestro sejarah sosial saya dengar di tengah perjalanan ke Bandung, kala itu mobil yang berisi banyak orang sejarah atau setidaknya orang yang tak asing dengan nama Sartono, belum jauh meninggalkan Veteran. Mendengar nama sang eyang disebut-sebut telah menjemput ajal, saya masih tetap tak percaya. Saking sangsinya, saya minta teman saya yang mendapat berita kematian Sartono lewat SMS agar membacanya lebih teliti hingga akhir kata sms, maklum tak sedikit teman yang kerap kirim sms jayus berkedok pesan serius di awal kalimat .
Ternyata berita itu bukan warta bohong..

Sayang sekali saya tak sempat mengantarkan sang eyang lewat upacara yang biasa digelar UGM selaku penghormatan pungkasan pada setiap kematian guru besarnya. Saya memang bukan mahasiswa UGM atau bukan orang yang dikenalnya, tetapi begitulah pesona seorang Sartono sebagai guru, saya tetap menganggapnya sang guru meski saya tak pernah belajar langsung di bawah bimbingannya. Dan alangkah bahagianya saya, bila bisa menghantarkannya ke liang lahat sebagai takzim akhir saya pada seorang guru sebagaimana saya lakukan pada Kuntowijoyo.

Siang itu, di dalam mobil, saya hanya bisa mengingat satu momen dan itu berlangsung hampir 2 setengah tahun yang lalu, saat saya bertandang ke rumahnya. Kala itu kami, teman-teman Pers Mahasiswa UNY, Ekspresi, sedang menggarap buku kumpulan esai tentang Kuntowijoyo tak jauh setelah kematiannya. Dan kami membutuhkan komentar tepat dari orang yang tepat tentang seorang Kuntowijoyo, dan Sartono adalah seorang diantaranya. Ia dianggap seorang guru yang berhasil, lantaran bukan saja sang guru yang berhasil menjadi seorang mestro tetapi juga muridnya.

Rumah Sartono terletak tak jauh di depan gerbang barat masjid kampus UGM. Rumahnya memang terletak di wilayah perumahan dosen UGM, dan kebanyakan rumah di wilayah itu memang asri dan tentu saja sepi, begitu juga rumah Sartono. Saya tak ingat betul berapa kali saya ke rumahnya, yang jelas sewaktu mewawancarainya dan sewaktu memberikan buku kumpulan esai tentang Kuntowijoyo "Muslim tanpa Mitos" kepadanya. Dan telah dua kali saya menjumpainya, pertama, saat saya hadir di launching majalah Arena bercover warna merah dengan gambar pancasila. Kebetulan saat itu ia didaulat menjadi pembicara dan itu terjadi sewaktu bulan puasa, dan saya sempat memapahnya keluar ruangan sewaktu ia pulang. Ketika itu juga, saya baru tahu bahwa Sartono adalah seorang teman dari Yos Sudarso. Kali kedua bertemu Sartono terjadi saat saya meminta komentarnya tentang murid Sartono yang dibilang sukses: Kuntowijoyo.

Ia sudah teramat tua saat itu, untuk berjalan saja ia perlu dipapah istrinya, maklum penglihatannya sudah tak berfungsi baik. Tadinya saya sekadar meminta satu atau dua kalimat padat komentarnya tentang Kuntoijoyo untuk ditampilkan di cover belakang buku atau halaman depan buku "Muslim tanpa Mitos". Tetapi sepertinya tidak mudah memahamkan maksud permintaan saya pada Sartono, bahwa saya sekadar meminta sedikit komentar tentang Kuntowijoyo. Mulanya saya pancing dengan pertanyaan untuk memudahkannya memberi komentar. Yang terjadi justru, bukan satu, dua atau tiga kalimat yang muncul, tetapi banyak kalimat sampai-sampai bisa menjadi 1 tulisan berisi komentar dan deskripsi Sartono tentang muridnya yang berhasil menulis disertasi tentang Madura, sebuah karya sejarah sosial. Dan kalimat-kalimat panjang itu diucapkannya secara sistematis tanpa terpotong oleh pertanyaan berikutnya sama sekali. Saya teramat takjub dengan memorinya dan sistem berpikir sang maha guru, juga kalimatnya yang berisi dan diucapkan dengan padat. Amat terlihat bahwa ia seorang intelektual yang tidak pernah jenuh berkarya sesuai filosofinya yang ingin ia tularkan pada banyak orang, bahwa agar tak berfilosopi layaknya pohon pisang yang berbuah sekali lantas tak berbuah lagi. Pohon pisang memang bukanlah ibarat yang baik untuk memacu produktifitas karya seorang intelektual. Dan ia berhasil memberi tauladan.

Yang saya ingat sebagai inti pembicaraannya sekaligus yang terpilih sebagai komentar diantara banyak komentarnya tentang Kuntowijoyo adalah pesan laku "mesu budi" tentang prinsip bekerja keras dan tanpa pamrih, kerajinan, serba hemat, kesemuanya disertai ketertiban melakukan kewajiban terhadap pihak yang dihormati atau tugas yang dianggap suci. sebuah “askese intelektual” yang mestinya menjadi prinsip seorang intelektual. Dan pesan mesu budi pula yang ditularkannya pada Kuntowijoyo.

Bila Kuntowijoyo pernah mengatakan bahwa Sartono pernah menjadi seorang penyelamat. Itu terjadi sewaktu Kunto baru menggondol PhD dari Amerika, Kunto ditawari kedudukan mapan di sebuah lembaga swasta. Kunto sempat pula ingin mencalonkan sebagai dekan di Fakultas Sastra UGM. Tapi Sartono memberinya nasehat tentang laku-tindak “mesu budi” dan betapa pentingnya seorang intelektual memunyai integritas dan keberanian untuk menghadapi resiko menjadi miskin dan sendiri. Hal itu juga yang dikatakan Sartono tentang muridnya, dan ia memang mengaku pernah memberi arahan pada Kunto tentang filosofi "Mesu Budi" ini. Dan Sartono tampak bahagia, ketika mendengar sendiri Kunto bicara bahwa seorang intelektual sejati mesti siap menjadi miskin untuk mempertahankan integritasnya. Kunto mengatakan ini sewaktu menjadi pembicara di Uuniversity Center (UC) UGM yang terletak di belakang rumah Sartono..

Dari mimik dan nada bicara, terlihat kebahagiaan Sartono bahwa muridnya meneguhi prinsip mesu budi yang ia lakoni juga. Dan Sartono tahu persis tak mudah mempertahankan integritas seorang intelektual di tengah makin maraknya intelektual yang melacurkan diri.
Siang itu, setelah ia bicara panjang lebar, saya pungkasi obrolan kami, karena ia tak boleh lelah. Saya bantu ia berjalan memasuki ruang tengah di dalam rumahnya, sedangkan sang istri menyiapkan kursi untuk sang maha guru ini beristirahat. Selamat jalan, Pak Sartono, apakah anda menyusul wafat sang murid?

Read More......

Sarekat Islam Perempuan

Sore itu di Patehan wetan 3, tidak ada yang lebih mengejutkan dan membuat dahi berkerut selain bahwa saya mendapat jatah bikin kronik tahun 1921 dan 1925. Serasa ketiban sial, karena seumur-umur bisa dibilang terlalu jarang saya baca-baca buku seputaran tahun itu. Itu tahun seharusnya sangat akrab di telinga orang sejarah, karena pergerakan buruh sedang giat-giatnya mogok dan SI sedang hangat-hangatnya merumuskan bentuk organisasi. Tapi begitulan kenyataannya, saya jarang bersentuhan dengan SI, VSTP, PPPB, PFB, juga PKI. Asumsi saya, amat sulit menggarap pekerjaan sejarah bila kita tidak tahu peta minimal peristiwa sejarah kurun itu, demikian pula nasib pekerjaan kronik 1921 dan 1925.

Tapi pekan-pekan ini, saya baru tahu hikmah ketiban sial saya menggarap tahun 1921, karena dalam pekan-pekan ini hampir 3 kali saya temukan vergadering yang dikhususkan bagi kaum SI Perempuan. Kali ini bukan serasa ketiban sial, tapi ketiban durian jatuh alias dewi fortuna. Penjelasan tentang ketiban untung ini akan saya mulai dengan sedikit dongeng ihwal materi skripsi garapan saya. "Gerakan politik perempuan 1930-1941" adalah judul skripsi saya, tetapi fokus utama pembahasan lebih pada studi komparasi antara gerakan politik Istri Sedar yang cenderung bersifat nonkooperatif dengan gerakan politik Kongres Perempuan Indonesia yang bersifat kooperatif.

Istri Sedar berpolitik lewat keberanian beroposisi terhadap pemerintah kolonial, sementara KPI berpolitik lewat gerakan untuk memperoleh hak pilih perempuan. Penelitian tentang gerakan politik Istri Sedar sesungguhnya tidak terlalu memuaskan karena minimnya sumber sejarah, seperti koran Sedar (orgaan milik Istri Sedar) yang terbatas sampai 1932, padahal corak politik Istri Sedar bertahan sampai 1935 setelah 3 tahun memulai pada 1932. Tapi untuk memulai penulisan sejarah gerakan politik perempuan Istri Sedar, segala sesuatu perlu dimulai se-minimalis apapun kondisinya, karena bukankah sejarah niscaya menghadirkan penyempurnaan seiring ditemukannya sumber yang berserakan atau tercecer. Teramat minim data mengenai gerakan politik Istri Sedar jualah yang membuat nilai skripsi menjadi A-. Tapi bukan masalah, dan memang penelitian sejarah perempuan tidak bisa dengan begitu saja disamakan dengan penelitian sejarah bertema penyakit pes atau sejarah ekonomi yang sarat dengan data kuantitatif.

Sebenarnya pilihan tahun pembahasan menunjuk 1930, salah satunya akibat minimnya sumber sejarah tentang pergerakan politik perempuan sebelum tahun itu. Padahal pergerakan politik perempuan telah dimulai sejak akhir dekade kedua dan awal dekade ketiga abad-20, yakni keberadaan bagian perempuan dari Sarekat Islam yang berhaluan politis. Buku-buku sejarah paling-paling hanya menyebut bahwa tahun 1918 atau 1919 telah ada bagian perempuan SI. Atau juga dalam sejarah pergerakan rakyat tulisannya AK Pringgodigdo cukup dengan disebut bahwa pada 1924 telah ada hari khusus yang disediakan bagi bagian perempuan PKI mengadakan kongresnya.

Dan kali ini saya mengamini pernyataan, bahwa bila kita telah memiliki fokus persoalan sebagai sebuah kesadaran intelektual, maka serasa berkerumun dan menjalin dalam medan kesadaran. Bila sudah begitu, lingkungan sekitar seperti amat berdamai dengan medan kesadaran kita, salah satunya lewat berdatangannya sumber sejarah yang kita cari tanpa disangka-sangka dan menembus ruang juga waktu. Nah inilah yang saya alami dengan proyek kronik tahun yang tadinya saya anggap sial karena saya tak menguasainya, bahwa saya menemukan sumber eksistensi SI perempuan lewat koran-koran, dan itu memang cara satu-satunya terutama bagi orang yang awam bahasa Belanda sehingga kesulitan menelusuri arsip. Tentang apa yang saya temukan, saya akan menuliskannya lain waktu, karena kronik-kronik tak sabar minta segera diketik, agar segera pungkas kerjaan saya.. see u

Read More......