Selasa, 15 Januari 2008

Teks Agama

Tiga minggu sebelum ujian sampai hari ini, saya mulai lagi sering ke masjid dan sedikit banyak mewarnai waktu dengan aktivitas di masjid.. saya sedang mengurus pengajian anak di masjid, ternyata saya memang menyukai dunia anak-anak.. hehe. sewaktu masih di ekspresi, saya tetap meluangkan waktu mengurus pengajian anak sebagai refreshing..

Saya mulai membuat perpustakaan anak, baik di masjid atau di langgar. Saya ingin masjid tidak saja identik dengan aktifitas ritual tetapi juga identik dengan belajar.. lumayan, anak-anak rata-rata sudah mau baca buku sampai beberapa hilang (hehe) biar tak sekadar kenal televisi dan PS.

Lomba anak-anak juga tidak identik denagn lomba sholat, adzan, menghafal surat tetapi juga lomba menulis dan membaca puisi.
tetapi akhir-akhir ini, saya sedikit gusar. Apa pasal? lagi-lagi saya bertemu dengan orang yang terlampau tekstual menghadapi teks agama, yang percaya saja pada isi teks selama itu buku dikarang ulama besar tanpa mencoba melihat pendapat lain yang berbeda. Kebanyakan orang-orang tekstual keras kepala, matanglah sudah..

Begini kisahnya, mulanya saya menjadwal materi hari ahad adalah materi bebas. Bisa menulis, bermain, bernyanyi, menonton film dan apa saja yang menyenangkan. Panitia remaja yang rata-rata masih abg ingin mengisi materi lewat menyanyi. Mereka puya bekal alat musik seperti gitar dan ketipung. Ku pikir bercanda, Edi, seseorang yang mengaku ingin menerapkan pola Islam (ala siapa?), bilang menyanyi tidak boleh. Itu disampaikannya pada Romi, panitia yang masih duduk kelas 2 SMP dan suka nge-band. Saya bilang, menyanyi itu boleh, ahad besok Romi saya bilang agar tetap tampil.

Satu hari setelahnya, Romi menyerahkan kertas, katanya titipan dari Edi untuk saya. Saya baca, ternyata dia menulis argumen-argumen mengapa menyanyi dihukumi haram, apalagi pakai gitar dan ketipung, saya mah cuma bisa cengengesan. "Gimana mbak", kata Romi seperti ikut gusar. "Ga papa, kalian tetap ngisi ya besok ahad." Saya penasaran juga dengan argumen Edi, saya memang pernah mendengar ada ulama yang mengharamkan, lalu saya tanya pada ibu. Ibu sedikit menjelaskan, nyanyi hukumnya mubah, berarti boleh asal tidak keluar kaidahlah. Tetapi saya masih juga penasaran dengan ayat dalam surat luqman yang ia pakai untuk menjustifikasi larangan menyanyi. saya buka tafsir maraghi yang kebetulan ibu mengkoleksi. Ternyata walah ternyata, itu surat memang mengindikasikan larangan menyanyi, tetapi asbabun nuzulnya bisa membuat kita lebih arif menyimpulkan hukum menyanyi.

Lain hari, saya melihat tempelan di papan pengumuman masjid. Kebetulan satu hari pasca ujian alias 3 hari puasa saya dapat mens, jadi saya tidak intens ke masjid kecuali sore. Saya dapati tiga lembar kertas ditempel memanjang berjudul "bahayanya perempuan bagi laki-laki" lalu satu lembar tulisan "hukum wanita tidak berjilbab".. waduw.. serem amit itu tulisan.. isinya seputar neraka.. yang terbayang dalam pikiran saya cuma para ulama klasik yang memang menempatkan perempuan sangat-sangat terpinggir.. layaknya bakteri yang siap merusak kekebalan tubuh manusia... rada reaktif juga nih, kontan saya copot tu kertas dan saya pindahin ke ruang sekretrariat..
waduw dah sore, saya terlalu lama di warnet.. musti hengkang.. bersambung ya..

Read More......

Soewarni

sudah tiga hari lebih, aku selesai menuliskan Soewarni. dia kakak Soewarsih Djojopoespito, penulis novel "manusia bebas".
Beberapa kali aku menulis tentang perempuan masa pergerakan, pasti tidak luput menulis kata poligami. apalagi saat menuliskan Soewarni.
Ia paling getol menentang poligami sampai-sampai perlawanannya pada perilaku lelaki beristri lebih dari satu itu, saya jadikan fokus utama. Dia juga perempuan yang bertikai dengan Ratna Sari, gara-gara aktivis Permi itu berapi-api di atas podium seakan menghalalkan poligami. Ia juga terkenal tajam menyindir tingkah lelaki, dalam forum itu saja ia mengatai laki-laki seperti ayam jago yang suka mengumpulkan perempuan.

Ee.. para lelaki yang duduk di belakang malah menanggapi dengan berseru pelan "kukuruyuk". Tentu saja, makin panaslah Soewarni.. (cerita tentang ini bisa didapatkan dalam biografi Maria Ulfah Santoso maupun Sujatin Kartowijono, atau cek langsung saja di koran-koran tahun 1935an. kata-kata "Lelaki seperti ayam jago" bahkan dipilih oleh Gadis Rasid menjadi sub judul dalam biografi Maria Ulfah Santoso yang ia tulis.

Soewarni juga perempuan pendiri organisasi Istri Sedar yang dikenal sebagai organisasi perempuan radikal awal tahun 1930-an, sayang tulisan tentang Soewarni atau Istri Sedar tidak banyak ditulis. Saya sendiri mengumpulkan dari tulisan yang tercecer, majalah Sedar (1930-an), dan tulisan E. Du Perron yang sempat datang pada konggres Istri Sedar. .
Tetapi begitu tulisan tuntas, saya puas, karena menulis tentang seseorang yang jarang tertulis..

Read More......

S(urastri) K(arma) Trimurti

sore ini tulisan tentang Surastri Karma Trimurti alias SK Trimurti selesai sudah.
Perempuan kelahiran boyolali ini telah merasai kejahatan fisik utawa kejahatan mental yang diberikan penjara secara cuma-cuma. Tubuhnya pernah ringsek disiksa kejam oleh Nedaci, seorang kenpeitai.

Tetapi di penjara Jurnatan, Semarang, tempat penyiksaan Trimurti berlangsung, Nedaci justru menyuguhkan sisi lainnya yang paling manusiawi. Karena di tempat itu ia berterus terang bahwa ia mencintai Sukapti, adik Trimurti.

Tetapi Trimurti juga berhak berterus terang tntg rasa yang paling manusiawi dari seorang tahanan yang dipukul sampai tak lagi mampu merasai sakit dari tubuhnya yang lebam. Tentu saja ia tolak mentah permintaan Nedaci untuk mengawini sah adiknya. Karena mengamini lamaran berarti meruntuhnya harga diri Trimurti, perangkat diri yang tersisa dari seorang tawanan.

S.K. Trimurti memang tak hanya dikenal sebagai tawanan, tetapi juga seorang jurnalis yang membuatnya berkenalan untuk kali pertama dengan terali besi. Ia sempat juga menjadi menteri perburuhan kabinet pimpinan perdana menteri Amir Syarifuddin. Sayang, usia kementriannya hanya berlaku tujuh bulan. karena Amir harus serahkan mandat pada bung Karno, yang menunjuk setelahnya seorang Hatta sebagai formatir kabinet.

Tetapi hikayat Trimurti dalam tahanan lebih "basah" untuk ditulis. Terakhir kali ia meringkuk dalam tahanan, gara-gara nasib apesnya yang dituding terlibat dalam peristiwa Madiun. ia sempat ditaruh dalam ruang, dan tidur di atas meja tulis kecil. yang membuatnya tidak bisa tidur, bukan saja perkara kecilnya meja, tetapi juga ujung bayonet prajurit yang sering mampir di kamarnya dan ditudingkan tepat di depan mukanya, sembari dikatai penghianatlah, atau sesekali diludahi meski tak mengenai mukanya.

Trimurti memang tak saja harus mendekam dalam bui selama masa kolonial, entah itu Belanda utawa Jepang. Tetapi ia harus pula meringkuk dalam penjara sesudah kemerdekaan diproklamasikan, momen paling historis kepunyaan negeri ini, yang ia tunggu dengan jantung berdegup. Trimurti tidak saja menunggu, tapi ia juga menyaksikannya dari pegangsaan timur no 56..

Read More......

Bahasa (katanya) ilmiah skripsi

lama tidak menulis dengan bebas.. karena apa? karena saya sedang dilumat menulis skripsi. penulisan skripsi yang katanya musti menggunakan ejaan yang disempurnakan, tata tulis, juga bahasa yang ilmiah. Apa kriteria ilmiah, metode penelitian bukan? mengapa tulisan saya tiba-tiba dikatakan tidak ilmiah hanya karena bahasanya dianggap tidak ilmiah. pantas, karya ilmiah tak banyak dibaca orang (kecuali mahasiswa yang sedang mencontek bahasan untuk tugas dan mahasiswa yang sedang akan skripsi).

Skripsi banyak teronggrok di rak-rak perpustakaan, mulai perpustakaan jurusan, fakultas sampai perpus univ. jangan-jangan salah satu faktornya ialah karena skripsi tak enak dibaca. orang yang mengaku sok akademis berdalih, "yah.. karena itu konsumsi orang akademis." Alah, apa seh guna bahasa? fungsi esensial bahasa menjadi tidak maksimal karena terkungkung aturan bahasa yang dikategorikan ilmiah. walah-walah..

Read More......

Pre Exam

lama sekali saya tak berkunjung ke warnet, salah satunya akibat persiapan ujian skripsi, jum'at, 14 september 2007. buat seorang mahasiswi yang tercatat sudah tinggal hampir 6 setengah tahun di kampus.. tidak ada kata paling tepat selain, "akhirnya..". Bbukan saja saya yang lega, tetapi juga keluarga, teman dan yang pasti adek-adek kelas yang terlanjur bosan menemaniku mendalami materi alias ngulang. hehe..

selesai ujian bukan berarti selesai urusan, ada revisi dan tetek bengek lainnya yang pemanasannya sudah ku lalui sebelum ujian.. mulai bersabar menghadapi birokrasi adm kuliah yang ribet dan menjadi satu hal yang tidak aku sukai sampai bertahan tak larut mendebat dosen yang tidak maksimal membimbing (apalagi hasrat selesai kuliah tak bisa ditawar lagi) juga pengajar lain yang suka ribut termasuk soal etika mahasiswa.

menjadi sarjana bukan sesuatu yang layak dibanggakan. Buat aku sendiri, ini sekadar prinsip agar terbiasa menuntaskan sesuatu, kedua, perkara orang tua apalagi keinginan ibu yang tak kuasa ku tolak. Barangkali ada beberapa alasan lain sehingga menuntaskan kuliah adalah sebuah pilihan saja, bukan kewajiban..

sekarang saya musti berhijrah ke uin (saya lebih suka menyebutnya IAIN) untuk menuntaskan studi di tafsir hadis, program studi yang saya tidak punya kegandrungan blas. Semua seperti air mengalir sehingga saya musti terdampar di sana. meski ada hikmah terutama ini saya rasakan saat saya balik ke masjid bertemu orang-orang yang memahami teks agama secara tekstual, tanpa pernah berfikir untuk lebih kritis apalagi terhadap para ulama pembuat teks..

Read More......

Senin, 14 Januari 2008

Menemukan Soeara Moehammadijah 1925

Hari ini saya tak menjajaki lantai 8 atau 4 perpustakaan nasional sebagaimana biasanya, karena hari ini saya putuskan meringkuk di lantai 7, tempat majalah tua disimpan, termasuk Soeara Moehammadijah, orgaan milik perkumpulan Moehammadijah. Tampilan fisiknya makin rapuh tak karuan, saya disergap takut bila usia majalah tak lama lagi karena kertas yang lapuk dan tentu saja mrithili". Padahal kesadaran apalagi naluri mendokumentasikan plus merawat sumber sejarah masihlah minim di negeri saya.

Karena saya menggarap kronik tahun 1925, tentu saja saya memesan majalah Soeara Moehammadijah tahun 1925, tetapi yang disodorkan justru majalah tahun 1932-1935. Waduw.. tetapi begitu saya lihat lebih cermat bahwa ibu petugas itu memakai kaca mata, saya cuma bisa membatin, "paling neh ibu salah lihat, capek deh..". ee.. setelah ibu mencari sebentar pesanan saya selanjutnya yakni Asjraq, majalah perempuan Sumatera Barat dan Barisan Ibu (majalah kaum istri Bandung) plus mencari lagi Soeara Moehammadijah pesanan saya, dia cuma bisa menyodorkan 1 bundel tipis berisi 3 majalah Asjraq sambil bilang, "Barisan Istrinya ga ada (padahal saya sempat bertambah semangat gara-gara menemukan majalah perempuan tahun 1925, yang berarti saya dapat semakin banyak menemukan sekaligus bakal mencantumkan partikel sejarah perempuan Indonesia). Kalau Soeara Mohammadijah? tanya saya, "ga ada." kata ibu itu polos. Spontan saja saya jawab sambil berjalan ke arahnya, "masa seh bu," dia cuma bisa menimpali, "lihat saja deh", sebenarnya, kata-kata inilah yang saya tunggu, agar saya bisa masuk ruang tempat penyimpanan majalah yang sebenarnya tak semua pengunjung bisa masuk. Pernah, beberapa kali sambil masuk, saya celingak-celinguk barangkali saja ada majalah-majalah bagus atau referensi sejarah yang saya butuhkan, dan tidak jarang celingukan saya membuahkan hasil, hehe.

Kali ini, saya sempat dibuat deg-degan, karena memang dalam label tahun pada majalah Soeara Moehammadijah, saya tidak mendapati angka tahun yang saya cari. Tapi saya nekat buka satu per-satu bendel majalah yang saya cari, kali aja, petugas tidak jeli mengklasifikasi angka tahun, karena Soeara Moehammadijah memberlakukan penanggalan hijriah, sampai saya sempat pusing dibuatnya, meski saya tahu, alasan penggunaannya amatlah ideologis. Aha.. ternyata benar saja, ada satu bendel tanpa angka tahun, begitu dibuka hanya tertulis tahun 1927, saya beradu keberuntungan, kali aja, tahun 1925 nylempit di antara lembaran-lembaran. Dan dugaan saya tak meleset, bendelan itu memang majalah dengan angka tahun yang saya cari: 1925, meski tak jelas nomor edisinya sehingga mempersulit penulisan sumber saya. "Tak apalah, ketemu aja beruntung, hihi).

Read More......

Kamis, 10 Januari 2008

Kroniek..

hampir 2 pekan saya mengerjakan kronik tahun 1921..
membuat kronik serasa ikut mata kuliah filsafat sejarah, tentang ini saya akan menuliskannya kapan-kapan. Karena malam ini, mata saya serasa diujung tanduk bantal. Apalagi saya sudah membuat janji dengan mami internaat kronik untuk saling mengendorkan syaraf dan membuat lancar aliran darah di badan, alias saya perlu segera pijat-pijat-an.hehe..

malam ini, saya ingin mengatakan satu hal: saya menyesal sudah, karena kesadaran bahwa saya tidak saja harus menggarap kronik Indonesia, tetapi mesti membuat catatan harian selama saya membuat kronik, justru baru muncul di tengah proses penggarapan. Bukankah segala sesuatu akan lebih baik bila dimulai dari diri sendiri, termasuk kerja keras bertahan membuat catatan kegiatan saban hari. hm..
Pagi ini, saya menyambangi stasiun Gambir, karena KRL Ac Bekasi-Jakarta turun di Gambir. Stasiun ini tetap saja menjadi stasiun "kelas satu", karena hanya kereta eksekutif yang diizinkan berhenti bahkan tidak untuk bisnis. Stasiun ini adalah saksi terlalu banyak peristiwa semenjak masa kolonial.
Bila tidak salah, pekan lalu, saya menulis tentang prosesi pergantian gubernur jenderal dari Graaf van Limburg Stirum ke De Fock. Setelah turun dari kapal yang dikawal dua kapal torpedo dan dua mesin (pesawat) terbang di Tanjung Priok, sang gubernur jenderal berangkat menuju Weltevreden menggunakan kereta dan turun di stasiun Gambir. Tentu saja, banyak pejabat pemerintahan yang menjemput, lantas membawanya pergi menuju istana Merdeka. Di sana, Limburg Stirum telah menunggu sambil menanti menit per menit sebelum upacara serah terima jabatan dilangsungkan, meski Graaf Limburgh, dan Gravin, istrinya sudah terlampau sayang pada tanah Hindia yang membuat Nederland berlimpah uang karena rempah. Di stasiun ini pula, Graaf mengawali perjalanan sebelum akhirnya benar-benar pulang kampuang meninggalkan Hindia. Riuh orang mengantar kepergian jenderal yang telah menjabat 30 tahun lamanya ini. Dan lagi-lagi itu terlalu sering terjadi di stasiun Gambir. Tetapi saya tidak tahu pasti, di sebelah mana, sang gubernur jenderal itu berdiri, melambaikan tangan mengucap kata pisah.. jangan-jangan tepat di mana saya tadi berhenti dan memulai langkah, hahaha. ah, gambir..

Read More......

Kongres Para Tabib

Hindia Belanda pernah menjadi tuan rumah dalam kongres tabib yang telah dimulai sejak 6 agustus. Para dokter dari banyak negara ikut hadir dalam kongres yang diketuai Dr de Vogel. Acara dimulai dengan pemilihan pengurus kongres di societeit Concordia yang dihadiri oleh 70 dokter. Sorenya sekitar pukul 18.00, peserta kongres dijamu di istana Rijswijk oleh Gubernur Jenderal. Hadir juga para pembesar negeri seperti anggota Raad van Indie, anggota Volksraad, kepala departemen, dan residen. Dalam forum itu, Gubernur Jenderal berpidato dengan 4 bahasa yaitu Inggris, Perancis, Jerman, dan Belanda.(lumayan juga ne Dirk Kock ..)

Esoknya beberapa peserta berkunjung ke pulau Onrust dan pergi ke Bogor mengunjungi rumah sakit jiwa. Baru 1 hari kemudian dimulai lagi acara kongres yang kebanyakan hari itu berisi pidato-pidato dari pada dokter tentang wacana ketabiban seperti penyakit pes, kelemasan urat pada kuda, bengkak-bengkak sakit perempuan juga tentang vitamin, dan ada masih banyak lagi pidato dari para dokter peserta kongres.

Nah di antara beberapa pidato yang dibacakan hari itu, ada judul yang sempat menarik perhatian saya, yaitu tentang Budi Perasaan dari Anak-anak Negeri Hindia Sejati dan Tambahan untuk Ilmu Boedi Perasaan Anak Hindia. Yang pertama melintas dalam pikiran tentang dua tulisan ini ialah, bahwa pidato yang ditulis oleh Dr Kits van Heyningen dan WF. Theunissen ini barangkali berisi simpati terhadap kondisi penduduk dari wilayah yang terjajah.

Dalam Neratja, surat kabar di (antara) mana saya membaca berita ihwal kongres tabib ini memang tidak disebutkan dengan detail tentang isi pidato, tetapi ada sedikit ringkasan pidato. Dan ternyata dugaan saya dengan isi pidato itu salah kaprah . (walah-walah). Lantas apa isi pidato itu secara general?

Barangkali dua tulisan itu bisa dibilang sedikit bersifat empatik terhadap kondisi masyarakat Hindia Belanda, tetapi ternyata logika yang digunakan adalah logika kaum penjajah. Yang saya maksud dengan logika para kolonial adalah bahwa mereka merasa sebagai bangsa beradab, dan masyarakat yang berasal dari wilayah terjajah adalah masyarakat tanpa peradaban, sehingga perlu diberi ilmu budi agar beradab. Kasihan benar bukan? Hindia Belanda yang sekenanya dikatakan sebagai bangsa tanpa perdaban sehingga musti dikasih pengetahuan juga ilmu etika agar beradab.

Pertanyaannya, lantas apa arti beradab? Bukankah melakukan eksploitasi material, politis dan sosial atas wilayah yang bukan miliknya jauh tidak lebih beradab? Pancen, penjajah tetap penjajah!! Tapi tetep saja seh, kita tidak mungkin memungkiri bahwa pergerakan nasional belum tentu muncul tanpa pendidikan yang diselenggarakan oleh bangsa penjajah itu. (loh..)

Read More......

Eyang Sartono

Kabar wafatnya sang maestro sejarah sosial saya dengar di tengah perjalanan ke Bandung, kala itu mobil yang berisi banyak orang sejarah atau setidaknya orang yang tak asing dengan nama Sartono, belum jauh meninggalkan Veteran. Mendengar nama sang eyang disebut-sebut telah menjemput ajal, saya masih tetap tak percaya. Saking sangsinya, saya minta teman saya yang mendapat berita kematian Sartono lewat SMS agar membacanya lebih teliti hingga akhir kata sms, maklum tak sedikit teman yang kerap kirim sms jayus berkedok pesan serius di awal kalimat .
Ternyata berita itu bukan warta bohong..

Sayang sekali saya tak sempat mengantarkan sang eyang lewat upacara yang biasa digelar UGM selaku penghormatan pungkasan pada setiap kematian guru besarnya. Saya memang bukan mahasiswa UGM atau bukan orang yang dikenalnya, tetapi begitulah pesona seorang Sartono sebagai guru, saya tetap menganggapnya sang guru meski saya tak pernah belajar langsung di bawah bimbingannya. Dan alangkah bahagianya saya, bila bisa menghantarkannya ke liang lahat sebagai takzim akhir saya pada seorang guru sebagaimana saya lakukan pada Kuntowijoyo.

Siang itu, di dalam mobil, saya hanya bisa mengingat satu momen dan itu berlangsung hampir 2 setengah tahun yang lalu, saat saya bertandang ke rumahnya. Kala itu kami, teman-teman Pers Mahasiswa UNY, Ekspresi, sedang menggarap buku kumpulan esai tentang Kuntowijoyo tak jauh setelah kematiannya. Dan kami membutuhkan komentar tepat dari orang yang tepat tentang seorang Kuntowijoyo, dan Sartono adalah seorang diantaranya. Ia dianggap seorang guru yang berhasil, lantaran bukan saja sang guru yang berhasil menjadi seorang mestro tetapi juga muridnya.

Rumah Sartono terletak tak jauh di depan gerbang barat masjid kampus UGM. Rumahnya memang terletak di wilayah perumahan dosen UGM, dan kebanyakan rumah di wilayah itu memang asri dan tentu saja sepi, begitu juga rumah Sartono. Saya tak ingat betul berapa kali saya ke rumahnya, yang jelas sewaktu mewawancarainya dan sewaktu memberikan buku kumpulan esai tentang Kuntowijoyo "Muslim tanpa Mitos" kepadanya. Dan telah dua kali saya menjumpainya, pertama, saat saya hadir di launching majalah Arena bercover warna merah dengan gambar pancasila. Kebetulan saat itu ia didaulat menjadi pembicara dan itu terjadi sewaktu bulan puasa, dan saya sempat memapahnya keluar ruangan sewaktu ia pulang. Ketika itu juga, saya baru tahu bahwa Sartono adalah seorang teman dari Yos Sudarso. Kali kedua bertemu Sartono terjadi saat saya meminta komentarnya tentang murid Sartono yang dibilang sukses: Kuntowijoyo.

Ia sudah teramat tua saat itu, untuk berjalan saja ia perlu dipapah istrinya, maklum penglihatannya sudah tak berfungsi baik. Tadinya saya sekadar meminta satu atau dua kalimat padat komentarnya tentang Kuntoijoyo untuk ditampilkan di cover belakang buku atau halaman depan buku "Muslim tanpa Mitos". Tetapi sepertinya tidak mudah memahamkan maksud permintaan saya pada Sartono, bahwa saya sekadar meminta sedikit komentar tentang Kuntowijoyo. Mulanya saya pancing dengan pertanyaan untuk memudahkannya memberi komentar. Yang terjadi justru, bukan satu, dua atau tiga kalimat yang muncul, tetapi banyak kalimat sampai-sampai bisa menjadi 1 tulisan berisi komentar dan deskripsi Sartono tentang muridnya yang berhasil menulis disertasi tentang Madura, sebuah karya sejarah sosial. Dan kalimat-kalimat panjang itu diucapkannya secara sistematis tanpa terpotong oleh pertanyaan berikutnya sama sekali. Saya teramat takjub dengan memorinya dan sistem berpikir sang maha guru, juga kalimatnya yang berisi dan diucapkan dengan padat. Amat terlihat bahwa ia seorang intelektual yang tidak pernah jenuh berkarya sesuai filosofinya yang ingin ia tularkan pada banyak orang, bahwa agar tak berfilosopi layaknya pohon pisang yang berbuah sekali lantas tak berbuah lagi. Pohon pisang memang bukanlah ibarat yang baik untuk memacu produktifitas karya seorang intelektual. Dan ia berhasil memberi tauladan.

Yang saya ingat sebagai inti pembicaraannya sekaligus yang terpilih sebagai komentar diantara banyak komentarnya tentang Kuntowijoyo adalah pesan laku "mesu budi" tentang prinsip bekerja keras dan tanpa pamrih, kerajinan, serba hemat, kesemuanya disertai ketertiban melakukan kewajiban terhadap pihak yang dihormati atau tugas yang dianggap suci. sebuah “askese intelektual” yang mestinya menjadi prinsip seorang intelektual. Dan pesan mesu budi pula yang ditularkannya pada Kuntowijoyo.

Bila Kuntowijoyo pernah mengatakan bahwa Sartono pernah menjadi seorang penyelamat. Itu terjadi sewaktu Kunto baru menggondol PhD dari Amerika, Kunto ditawari kedudukan mapan di sebuah lembaga swasta. Kunto sempat pula ingin mencalonkan sebagai dekan di Fakultas Sastra UGM. Tapi Sartono memberinya nasehat tentang laku-tindak “mesu budi” dan betapa pentingnya seorang intelektual memunyai integritas dan keberanian untuk menghadapi resiko menjadi miskin dan sendiri. Hal itu juga yang dikatakan Sartono tentang muridnya, dan ia memang mengaku pernah memberi arahan pada Kunto tentang filosofi "Mesu Budi" ini. Dan Sartono tampak bahagia, ketika mendengar sendiri Kunto bicara bahwa seorang intelektual sejati mesti siap menjadi miskin untuk mempertahankan integritasnya. Kunto mengatakan ini sewaktu menjadi pembicara di Uuniversity Center (UC) UGM yang terletak di belakang rumah Sartono..

Dari mimik dan nada bicara, terlihat kebahagiaan Sartono bahwa muridnya meneguhi prinsip mesu budi yang ia lakoni juga. Dan Sartono tahu persis tak mudah mempertahankan integritas seorang intelektual di tengah makin maraknya intelektual yang melacurkan diri.
Siang itu, setelah ia bicara panjang lebar, saya pungkasi obrolan kami, karena ia tak boleh lelah. Saya bantu ia berjalan memasuki ruang tengah di dalam rumahnya, sedangkan sang istri menyiapkan kursi untuk sang maha guru ini beristirahat. Selamat jalan, Pak Sartono, apakah anda menyusul wafat sang murid?

Read More......

Sarekat Islam Perempuan

Sore itu di Patehan wetan 3, tidak ada yang lebih mengejutkan dan membuat dahi berkerut selain bahwa saya mendapat jatah bikin kronik tahun 1921 dan 1925. Serasa ketiban sial, karena seumur-umur bisa dibilang terlalu jarang saya baca-baca buku seputaran tahun itu. Itu tahun seharusnya sangat akrab di telinga orang sejarah, karena pergerakan buruh sedang giat-giatnya mogok dan SI sedang hangat-hangatnya merumuskan bentuk organisasi. Tapi begitulan kenyataannya, saya jarang bersentuhan dengan SI, VSTP, PPPB, PFB, juga PKI. Asumsi saya, amat sulit menggarap pekerjaan sejarah bila kita tidak tahu peta minimal peristiwa sejarah kurun itu, demikian pula nasib pekerjaan kronik 1921 dan 1925.

Tapi pekan-pekan ini, saya baru tahu hikmah ketiban sial saya menggarap tahun 1921, karena dalam pekan-pekan ini hampir 3 kali saya temukan vergadering yang dikhususkan bagi kaum SI Perempuan. Kali ini bukan serasa ketiban sial, tapi ketiban durian jatuh alias dewi fortuna. Penjelasan tentang ketiban untung ini akan saya mulai dengan sedikit dongeng ihwal materi skripsi garapan saya. "Gerakan politik perempuan 1930-1941" adalah judul skripsi saya, tetapi fokus utama pembahasan lebih pada studi komparasi antara gerakan politik Istri Sedar yang cenderung bersifat nonkooperatif dengan gerakan politik Kongres Perempuan Indonesia yang bersifat kooperatif.

Istri Sedar berpolitik lewat keberanian beroposisi terhadap pemerintah kolonial, sementara KPI berpolitik lewat gerakan untuk memperoleh hak pilih perempuan. Penelitian tentang gerakan politik Istri Sedar sesungguhnya tidak terlalu memuaskan karena minimnya sumber sejarah, seperti koran Sedar (orgaan milik Istri Sedar) yang terbatas sampai 1932, padahal corak politik Istri Sedar bertahan sampai 1935 setelah 3 tahun memulai pada 1932. Tapi untuk memulai penulisan sejarah gerakan politik perempuan Istri Sedar, segala sesuatu perlu dimulai se-minimalis apapun kondisinya, karena bukankah sejarah niscaya menghadirkan penyempurnaan seiring ditemukannya sumber yang berserakan atau tercecer. Teramat minim data mengenai gerakan politik Istri Sedar jualah yang membuat nilai skripsi menjadi A-. Tapi bukan masalah, dan memang penelitian sejarah perempuan tidak bisa dengan begitu saja disamakan dengan penelitian sejarah bertema penyakit pes atau sejarah ekonomi yang sarat dengan data kuantitatif.

Sebenarnya pilihan tahun pembahasan menunjuk 1930, salah satunya akibat minimnya sumber sejarah tentang pergerakan politik perempuan sebelum tahun itu. Padahal pergerakan politik perempuan telah dimulai sejak akhir dekade kedua dan awal dekade ketiga abad-20, yakni keberadaan bagian perempuan dari Sarekat Islam yang berhaluan politis. Buku-buku sejarah paling-paling hanya menyebut bahwa tahun 1918 atau 1919 telah ada bagian perempuan SI. Atau juga dalam sejarah pergerakan rakyat tulisannya AK Pringgodigdo cukup dengan disebut bahwa pada 1924 telah ada hari khusus yang disediakan bagi bagian perempuan PKI mengadakan kongresnya.

Dan kali ini saya mengamini pernyataan, bahwa bila kita telah memiliki fokus persoalan sebagai sebuah kesadaran intelektual, maka serasa berkerumun dan menjalin dalam medan kesadaran. Bila sudah begitu, lingkungan sekitar seperti amat berdamai dengan medan kesadaran kita, salah satunya lewat berdatangannya sumber sejarah yang kita cari tanpa disangka-sangka dan menembus ruang juga waktu. Nah inilah yang saya alami dengan proyek kronik tahun yang tadinya saya anggap sial karena saya tak menguasainya, bahwa saya menemukan sumber eksistensi SI perempuan lewat koran-koran, dan itu memang cara satu-satunya terutama bagi orang yang awam bahasa Belanda sehingga kesulitan menelusuri arsip. Tentang apa yang saya temukan, saya akan menuliskannya lain waktu, karena kronik-kronik tak sabar minta segera diketik, agar segera pungkas kerjaan saya.. see u

Read More......