Selasa, 11 Maret 2008

Poengoetan Oeang Masoek Sekaten (1925)

Lebih dari 1 bulan yang lalu, saya menemukan artikel menarik, tentu saja menarik versi saya atau barangkali juga masyarakat Yogyakarta, tempat berlangsungnya tradisi sekaten hingga kini. Mengapa sekaten?
Karena memang artikel ini bicara tentang sekaten di tahun 1925, tepatnya perkara pungutan uang masuk perayaan sekaten, yang semakin lestari sampai kini.
Berita ini, saya dapatkan dari surat kabar Bendera Islam, sewaktu menggumuli koran tua untuk penulisan kronik Indonesia 1925.

Bendera Islam, 10 Agustus 1925.
Atas ihtiar Sarekat Islam diadakan rapat protes pada 7 Agustus 1925 yang mengambil tempat di rumah Djajeng Parkosan, Ngabean. Dalam rapat ini hadir antara lain, CSI, Siong Boe Tiong Hwee, Muhammadiyah, Centraal Tiong Hwa, Wal-Fadjrie, komite penengah penghinaan, SI Garut dan Islamiyah. Sementara dari kalangan pers, datang meliput yakni, Penggoegah, Tjamboek, Bendera Islam, Sin Po, Sien Jiet Po, Warna Warta, Perniagaan, Djawa Tengah, Keng Po, Sien Bien, Hindia Braoe, Soeara Publik, Tjien Po, Pewarta Surabaya, Bintang Islam, Sri Djojo Bojo, dan Sedio Tomo.
Terlihat banyak penduduk termasuk masyarakat Tiong Hwa yang ikut menghadiri rapat ini, yakni sekitar 200 orang Tiong Hwa, karena kedatangan mereka dalam jumlah besar memang amat diharapkan. Rapat protes yang melibatkan penjagaan dari kepanduan SI dan Wal-Fadjrie ini dibuka oleh Soerjopranoto pada pukul 09.00, dan sesudah kaum muslim membaca al-Fatihah dan pemeluk agama lain dipersilahkan berdoa sesuai keyakinannya masing-masing, Soerjopranoto lantas menyampaikan maksus diadakannya rapat ini,
1. Ajakan persatuan dan persaudaraan antar manusia.
2. Melahirkan protes perihal keberatan mereka seputar tindasan pajak, rencana hendak memungut entrée (uang masuk) dalam keramaian sekaten, dan pencabutan hak berkumpul di Semarang.
Mereka yang tampil berpidato pada rapat ini yaitu, H.M. Soedja yang bicara tentang persatuan dan persaudaraan antar manusia.OS Tjokroaminoto berpidato tentang mono humanisme (persatuan manusia) juga sikap SI pada persatuan manusia atau nasionalisme dan patriotisme. Giliran pembicara berikutnya ialah Soerjopranoto yang membahas perkara pajak, bahwa selain 2 jenis pajak baik langsung (dibayar langsung pada negeri) dan tidak langsung, kini ada lagi ditambah yakni, “pajaknya pajak”, yang disebut juga opcenten de belastingen.
Dan di Yogyakarta telah mulai ada opcent (kenaikan pajak menurut presentase) dari pajak ini dan itu, serta ada juga pajak tak langsung yang halus sekali alias tak kentara: pungutan uang masuk ke tempat perayaan sekaten. Lantas diusulkan agar meminta utusan SI Yogyakarta untuk bertemu residen mempermaklumkan keberatan itu, apalagi rakyat Hindia telah membayar aneka rupa pajak, meski kesusahan berlipat-lipat.

Ada lagi artikel lain dalam Hindia Baroe (metamorfosa surat kabar Neratja) yang, lagi-lagi memberitakan perkara yang sama: pungutan entree (uang masuk) dalam perayaan sekaten. Hanya saja dengan argumentasi lain, ia bilang, acara sekaten bukan acara komersil, acara ini adalah acara budaya sekaligus acara keagamaan. Bagaimana bisa pemerintah justru hendak menarik uang masuk, yang berarti telah merubah maksud acara menjadi acara komersil.
Orang-orang Jogja dari manapun termasuk mereka yang tinggal di desa-desa dan jauh dari kota selalu berduyun-duyun mendatangi sekaten, bukan apa, mereka datang ke perayaan tahunan ini, sebagai warisan tradisi dari sesepuh mereka, dan tiadanya uang masuk sekaten selama ini, mereka maknai sebagai rasa welas asih sang raja Jogja. Bisa dibayangkan, apa baka mereka bilang juga pikirkan?

Artikel ini bagus juga menangkap makna intrinsik perayaan sekaten, dan denagn jitu digunakannya sebagai dalih menolak pungutan uang masuk sekaten. Tapi artikel ini membuat saya nyinyir, karena pungutan uang masuk sekaten yang lestari hingga sekarang dan terus merangkak naik, adakah yang pernah mempertanyakan?

Entah esok atau lusa saya bakal hengkang dari Jakarta menuju Jogja, kota yang membuat saya tertawan pada rindu. Adik perempuan saya yang masih duduk di kelas 6 SD sudah sedari pekan-pekan kemarin menagih kedatangan saya ke Jogja untuk menemaninya ke sekaten sebagaimana biasa. Tapi sudah beberapa tahun ini,saya selalu mendatangi sekaten di pekan terakhir perayaan. Bila bukan karena mengantar adik, saya takkan mampir ke ruang pameran atau memilih permainan pasar malam. Karena bukan itu yang memesona, saya lebih suka pergi ke depan masjid besar, makan nasi gurih, membeli telur dari perempuan tua, menyaksikan gamelan bertalu, dan melihat seorang perempuan alias muballighah Aisjijah mengisi pengajian malam juga di depan masjid besar.
Untuk yang saya sebut terakhir ini,ternyata adalah tradisi tua,yang saya temukan juga dalam kronik saya. Karena dahulu, Muhammadiyah selalu punya rangkaianagenda menyambut maulud nabi terutama lewat perayaan sekaten. Macam-macam acaranya, termasuk bagian Taman Pustaka Muhammadiyah yang punya stan dalam pameran. Entah, sepertinya tak semua acara itu, masih ada sampai sekarang,termasuk bahwa Muhammadiyah merasa sangat perlu untuk membuat aneka kegiatan, karena banyak sekali poin kegiatan yang dahulu digelarnya.
Kembali soal sekaten, hanya saja sekarang tak hanya penjaja nasi gurih yang ada,tetapi juga pedagang bakso dan mie ayam, yang memakan banyak space juga di depan masjid. Tetapi tetap saja saya akan menyambangi depan masjid itu, dan makan nasi gurih, tentu sambil mengajak adik saya, jangan sampai dia hanya mengenal permainan-permainan yang ditawarkan pasar malam, tapi dia perlu diajak juga merasai khidmatnya perayaan sekaten, bersama orang-orang desa yang masih saja berduyun, bergerombol naik truk dan memarkirnya di terminal Serangan guna merasai welas asih sang raja, dan mendengar hikmah maulud. Bagaimana dengan anda?

Read More......