Kamis, 20 November 2008

Pandhita dari Chicago, "Change, We Believe In" (Ini bukan tentang Obama tapi Fazlur Rahman)

Bila Fazlurrahman tak meninggal pada 26 Juli 1988 lalu, tahun ini ia berusia 89 tahun. Bukan itu saja, ia juga akan ikut memilih presiden Amerika Serikat pilihannya pada 4 November kemarin. Soal siapa yang dicoblos, itu urusan dia, tapi saya kira ia akan menyukai jargon kampanye Obama, "Change, We Believe In". Tanya mengapa?

Bila Fazlurrahman tak meninggal pada 26 Juli 1988 lalu, tahun ini ia berusia 89 tahun. Bukan itu saja, ia juga akan ikut memilih presiden Amerika Serikat pilihannya pada 4 November kemarin. Soal siapa yang dicoblos, itu urusan dia, tapi saya kira ia akan menyukai jargon kampanye Obama, "Change, We Believe In". Tanya mengapa?

Data Pribadi Fazlur Rahman
Bila Fazlurrahman tak meninggal pada 26 Juli 1988 lalu, tahun ini ia berusia 89 tahun, lantaran ia lahir sekira tahun 1919, tepatnya pada 21 September, di daerah barat laut Pakistan. Ketika Rahman lahir, anak benua Indo-Pakistan belum terpecah menjadi dua negara merdeka yang masih menyisakan persoalan, yakni India dan Pakistan. Daya pikat rasionalitas cendekiawan satu ini, tak sekadar bisa dilacak dari pengalaman akademis atau latar belakang keilmuan semata. Jejak tapaknya bisa juga ditemukan sedari keluarga dan lingkungan tempat Rahman dibesarkan.

Dia dibesarkan dalam keluarga muslim nan religius bermadzhab Hanafi, satu madzhab fiqh yang dikenal paling rasional di antara madzhab sunni lainnya. Ayahnya ialah semacam kyai yang mengajar di madrasah tradisional paling bergengsi di anak benua Indo-Pakistan yakni Deoband. Meski begitu, berbeda dengan kebanyakan kaum tradisional lainnya, ayah Rahman yakni Maulana Syahab Al-Din ialah seorang kyai tradisional yang melihat modernitas sebagai tantangan yang perlu disikapi dan bukan dihindari secara ekstrem sebagai ancaman. Kepada sang ayah, Rahman belajar ilmu tradisional, selain juga mengenyam pendidikan formal. Ia anak yang cerdas, hingga tak heran di usia 10 tahun, Qur’an telah dihapalnya di luar kepala. Empat tahun kemudian, ia sudah mulai belajar filsafat, bahasa Arab, teologi, hadis, dan tafsir.

Ia beruntung telah lahir di anak benua Indo-Pakistan yang dikenal sebagai sentrum gairah pemikiran Islam. Nama-nama pemikir Islam progresif macam Syah Waliyullah, Sir Sayyid Ali, dan Muhammad Iqbal, tentu tak asing lagi di anak benua itu. Rahman sangat apresiatif terhadap pemikiran para pendahulunya, bahkan dalam pembahasan ihwal wakyu Ilahi dan nabi, ia mengakui bahwa pemikirannya merupakan kelanjutan dari apa yang telah berhasil dirumuskan oleh Syah Waliyullah dan Muhammad Iqbal.
Seusai menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah menengah, ia mengambil studi Sastra Arab di Departemen Ketimuran pada Universitas Punjab, dan berhasil menggondol gelar MA dalam bidang studi Sastra Arab tahun 1942. Empat tahun berikutnya, ia meneruskan studi doktoral ke Oxford University, dan berhasil meraih gelar doktor filsafat di tahun 1951 dengan disertasi tentang konsep kenabian (Prophecy In Islam: Philosophy and Ortodoxy. Pada Durham University, Inggris, Rahman pernah mengajar beberapa saat, dan ia menjadi Associate Professor of Philosophy di Islamic Studies, McGill University, Canada. Ia menguasai banyak bahasa baik itu Latin, Yunani, Inggris, Perancis, Jerman, Turki, Persia, Arab, dan Urdu.

Sekembalinya ke tanah air, pada Agustus 1962, Rahman menjadi direktur Institute of Islamic Research, satu lembaga riset yang di-endorse oleh pemimpin Pakistan pimpinan Jenderal Ayyub Khan. Selain itu, Rahman adalah anggota Advisory Council of Islamic Ideology pemerintah Pakistan di tahun 1964. Kedua jabatan itu mengundang kontroversi yang membuat khalayak mempertanyakan integritas dan tanggung jawab moral seorang Rahman sebagai ilmuan.

Lembaga riset Islam tersebut bertujuan untuk menafsirkan Islam dalam term-term rasional dan ilmiah dalam rangka menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang progresif. Sedangkan Dewan Penasehat Ideologi Islam bertugas meninjau seluruh hukum baik yang sudah maupun belum ditetapkan, dengan tujuan menyelaraskannya dengan al-Qur’an dan Sunnah. Kedua lembaga ini memiliki hubungan kerja yang erat, karena Dewan Penasehat bisa meminta lembaga riset untuk mengumpulkan bahan-bahan dan mengajukan saran mengenai rancangan undang-undang.

Kontroversi makin menjadi kala Rahman mengeluarkan fatwa-fatwa berkenaan dengan hukum bunga bank, penyembelihan hewan secara mekanis, juga posisi zakat atas pajak. Berbeda dengan pendapat kebanyakan ulama, bagi Rahman, bunga bank tidak bisa disamakan dengan riba. Dalam hal penyembelihan hewan secara mekanis, Rahman berpendapat boleh menyembelih ribuan hewan dengan hanya menyebut basmalah sekali. Soal zakat, menurut Rahman, dengan mekanisme tertentu secara gradual zakat bisa dipersepsi sebagai pajak.
Sayang sekali, penafsiran situasional dan kreatif Rahman terhadap norma moral al-Qur’an dan hadis menyangkut tiga persoalan di atas, justru disikapi dengan perlawanan tidak sehat oleh beberapa ulama, penguasa, dan khalayak. Bukannya menentang dengan cara ilmiah, mereka justru mengedepankan emosi dan ancaman. Tidak kurang dari 9 bulan, fatwa-fatwa yang melibatkan Rahman menjadi bulan-bulanan kehebohan pers Pakistan.

Ujung-ujungnya, Rahman membuat putusan hijrah ke Chicago, bumi Allah yang lain, tempat ia merumuskan pemikiran keislamannya, dan ke sana pula beberapa mahasiswa muslim termasuk mahasiswa Indonesia belajar Islam dengannya. Taufik Adnan Amal membagi perkembangan pemikirannya ke dalam tiga babakan utama. Pertama, periode awal (dekade 50-an); periode Pakistan (dekade 60-an); dan periode Chicago (dekade 70-an dan seterusnya).

Ada tiga karya besar yang disusun Rahman pada periode awal: “Avicenna’s Psychology” (1952); “Avicenna’s De Anima” (1959); dan “Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy” (1958). Dua yang pertama merupakan terjemahan dan suntingan karya Ibn Sina (Avisena). Sementara yang terakhir mengupas perbedaan doktrin kenabian antara yang dianut oleh para filosof dengan yang dianut oleh ortodoksi.

Pada periode kedua (Pakistan), ia menulis buku yang berjudul “Islamic Methodology in History” (1965). Buku ini memperlihatkan evolusi historis perkembangan empat prinsip dasar (sumber pokok) pemikiran Islam—Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’; dan peran aktual prinsip-prinsip ini dalam perkembangan sejarah Islam itu sendiri. Buku kedua yang ditulis Rahman pada periode kedua ini adalah “Islam”, yang menyuguhkan rekontruksi sistemik terhadap perkembangan Islam selama empat belas abad.

Pada periode Chicago, Rahman menyusun: The Philosophy of Mulla Sadra (1975), Major Theme of the Qur’an (1980); dan Islam and Modernity:Transformatioan of an intellektual tradition (1982). Pada periode pertama, karya Rahman bersifat kajian historis, sementara pada periode kedua, selain bersifat historis juga bersifat interpretatif (normatif), dan karya-karya pada periode ketiga telah bersifat normatif murni.

Pada periode awal dan kedua, Rahman belum secara terang-terangan mengaku terlibat langsung dalam arus pembaruan pemikiran Islam. Baru pada periode ketiga Rahman mengakui dirinya sebagai juru bicara neomodernis. Meski kebanyakan orang, menggolongkannya sebagai seorang neomodernis, tetapi ada juga yang lebih pas mentahbiskannya sebagai ulama multifaset. Menurut mereka, sibuk memberi label pada guru besar dalam kajian Islam pada Departement of Near Eastern Languages and Civilization, University of Chicago itu, hanya akan mereduksi kapasitas personal seorang Fazlur Rahman.

Buah Pikiran Fazlur Rahman tentang Hadis

Rahman pernah mengumpamakan dirinya layaknya ikan yang akan naik ke permukaan laut hanya sekadar untuk bernafas. Dia tak berlebihan, karena Rahman memang lebih suka menghabiskan waktunya di padepokan alias di perpustakaan pribadi yang terletak di basement rumahnya, di Naperville, kurang lebih 70 km dari Universitas Chicago, tempat ia mengajar. Sesekali atau seperlunya saja ia keluar padepokan, selebihnya ia akan asyik masyuk membacai buku dan menuliskan buah ia bertafakur.

Publik tercengang membacai karyanya, beberapa mengecam, selebihnya menabur puji. Pengalaman menjadi the other yang tersudut di Pakistan, membuatnya tak kaget berhadapan dengan sikap reaksioner para ulama tradisional yang terlanjur mengklaim Rahman menodai “keperawanan” Quran dan Sunnah. Namun buat sebagian yang lain, Rahman ibarat sang pencerah kejumudan pemikiran Islam yang stagnan. Tak heran, jika pemikirannya digandrungi kaum progresif bahkan memengaruhi corak (pembaharuan) pemikiran keislaman yang muncul sesudahnya.

Hari itu adalah hari Selasa di akhir pekan bulan delapan tahun 2008. Bertempat di Teater Utan Kayu, sejumlah intelektual muda Islam Indonesia berkumpul menggelar diskusi. Sebenarnya diskusi itu adalah ritus bulanan, hanya saja kali itu sedikit istimewa. Apa pasal? Usut punya usut mereka sedang memeringati haul 20 tahun Fazlurrahman yang diberinya tema “Menghidupkan Kembali Pembaruan Islam di Indonesia”. Tak pelak, Rahman adalah ikon pembaharuan pemikiran keislaman, tak terkecuali di Indonesia.

Di mata mereka, tokoh ini jelas-jelas istimewa, jika tidak istimewa di hati setidaknya di otak mereka. Saya mengira-ira, karya-karya Fazlur Rahman adalah bacaan wajib sekaligus akan mudah ditemukan di rak-rak buku intelektual muda ini. Diskusi kali itu menghadirkan Dr. Bachtiar Effendi dan Hamid Basyaib sebagai narasumber, dan Dr. Luthfi Assyaukanie, selaku moderator.

Ketiga nama itu tak asing, tapi yang paling saya ingat ialah nama yang tersebut terakhir sebagai narasumber, yakni Hamid Basyaib. Bukan apa-apa, ia adalah penerjemah yang baik (menurut saya) novel memukau Sang Alkemis terbitan Alfabet, yang tentu saja tak ada sangkut paut dengan pemikiran hadis Fazlur Rahman. Bahwa Hamid ternyata terpikat pada gagasan Rahman tentang hadis, itu adalah sesuatu yang lain. Menurutnya, Rahman menawarkan cara penglihatan baru untuk menilai sebuah hadis.

Tiba-tiba Luthfi menyela, “Begini Hamid, saya setuju dengan statemen Anda, dan memang betapa penting pemikiran sunnah dan hadis pada peta pemikiran seorang Fazlurrahman. Ini bisa kita lihat pada beberapa karyanya, bahwa Rahman selalu punya porsi untuk mengulas tema sunnah dan hadis. Dan sepertinya akan lebih menarik, kalau kita ber-teleconference ria-dengan mahasiswa Tafsir Hadis IAIN, eit, maaf saya ralat, UIN Sunan Kalijaga, yang kebetulan sedang berdiskusi juga tentang pemikiran hadis eyang Fazlur Rahman. Masa, cuma SBY dan JK saja yang bisa teleconference”, imbuh Luthfi sambil mesam-mesem. Hamid menimpali cukup dengan mengacungkan jempol tangannya, kira-kira dia ingin mengatakan “siip”.

Di ruang kuliah, lantai 3, gedung Ushuluddin UIN Suka, terlihat mahasiswa antusias mengikuti teleconference. Sementara di Utan Kayu, mas Bachtiar terlihat bisik-bisik dengan mas Luthfie yang duduk disebelahnya, “Wah UIN Suka tajir juga ya, punya perangkat teleconference”. Timpal Luthfi, “ya iyalah, kalau kita sih punya lembaga donor ya, kalau UIN, coba kamu berjalan mengelilingi gedung-gedung baru UIN Suka, pasti ketemu dech ama logo UIN plus yang paling penting adalah logo IDB. Acara bisik-bisik segera terhenti, karena mulai terdengar suara dari seorang mahasiswi berkacamata, “Tidak cuma mas Hamid yang kesengsem dengan pemikiran hadis Fazlur Rahman, saya kira setiap muslim yang lelah dengan kepongahan stagnasi pemikiran Islam, akan tertarik membacai definisi segar Rahman tentang Sunah dan Hadis, serta tawaran cara cerdas plus kreatif Rahman membaca teks hadis”. seorang mahasiswi berkacamata memulai pembicaraan.

Giliran mahasiswa yang duduk di belakang menyambung pembicaraan, “kebetulan sekali, kami sedang menginventarisir pemikiran hadis eyang Rahman, sang pemikir neo modernis”
Di Utan Kayu, hadirin yang hadir tampak bungah menyaksikan antusiasme mahasiswa, Bachtiar Effendi mulai bicara, “Wah mas, kalau saya kurang sepakat dengan pelabelan-pelabelan seperti modernis, neomodernis, dsb, nantinya kita malah mereduksi sosok seorang Rahman lho. Tapi saya benar-benar tertarik, ingin mengetahui pembacaan mahasiswa terhadap pemikiran hadis Fazlurrahman”.

Di ruang kuliah, waktu menunjuk pukul 13.00.
Menjawab permintaan doktor politik Islam lulusan Ohio State University, Ahmad, mahasiswa yang duduk di depan mulai menjelaskan, “Kita mulai dari ihtiar Rahman membeberkan evolusi historis sunnah dan hadis. Hadis yang secara harfiyah berarti cerita, penuturan, dan laporan, ialah sebuah narasi yang bertujuan memberi informasi tentang apa yang dikatakan, dilakukan, dan putusan-putusan Nabi, juga informasi tentang sahabat (senior) terutama empat khalifah pertama. Teks dan Isnad adalah dua komponen dalam hadis, yang memunculkan kegelisahan, bahwa dua hal itu tak mungkin mengada begitu saja tanpa perkembangan teknis dan perluasan materi.

Semasa Nabi hidup, posisi Nabi sebagai tauladan umat Islam, membuat orang-orang membicarakan tentang perilaku, perkataan,dan putusan Nabi sebagaimana mereka bicara tentang keseharian mereka. Keadaan berubah pasca mangkatnya Nabi, hadis beralih dari kondisi informal menjadi semi formal lantaran kualitas kesadaran di balik penyampaian ketauladanan Nabi. Transmisi hadis yang bersifat peneladanan terhadap Nabi dimanifestasikan lewat tindakan dan belum banyak melibatkan rumusan verbal. Nah, transmisi non verbal inilah menjadi tradisi yang hidup dan disebut sunnah. Fazlur Rahman juga menegaskan adanya unsur penafsiran manusia dalam sunnah.
Sunnah adalah perumusan para ulama mengenai kandungan hadits. Ketika terjadi perbedaan paham, maka yang disebut sunnah adalah pendapat umum; sehingga pada awalnya sunnah sama dengan ijma'. Karena sunnah adalah hasil penafsiran, nilai sunnah tentu saja tidak bersifat mutlak seperti al-Qur'an.

“Orientalis macam Ignaz, Margoliouth, Lammens, dan J. Schacht, menaruh perhatian besar pula pada muasal sunnah beserta kapabilitasnya. Bagaimana Rahman menanggapinya? Seorang mahasiswi tampak mengajukan pertanyaan.

“Kita akan melihat letak perbedaan Rahman dengan pandangan keempat orientalis ini tentang sunnah dan hadis”, Ahmad mencoba meyakinkan. “Dalam magnum opusnya, “Muhammadanische Studien” (vol. 2, 1890, Ignaz menyatakan bahwa hampir-hampir tak mungkin menyaring sedemikian banyak materi hadis sehingga diperoleh suatu bagian yang dinyatakan sebagai asli dari Nabi atau generasi sahabatnya. Ujung-ujungnya, ia menyarankan agar hadis hanya dianggap sebagai catatan pandangan dan sikap generasi muslim awal tinimbang sebagai catatan kehidupan dan ajaran Nabi atau sahabat beliau.
Margoliouth dalam bukunya berjudul Early Development of Islam, mempertahankan pendapat bahwa Nabi hanya meninggalkan Quran dan tidak dengan sunnah maupun hadis. Bahwa sunnah yang dipraktikkan generasi muslim sesudah nabi adalah kebiasaan bangsa Arab sebelum Islam yang telah mengalami modifikasi dalam Quran. Poin ketiga Margoliouth ialah tuduhan yang dialamatkan pada generasi kemudian abad 2 H, yakni mengembangkan konsep sunnah nabi dan menciptakan sendiri mekanisme hadis dalam usaha memberi otoritad dan normatifitas bagi kebiasaan tersebut. H. Lammens lewat buku Islam; Beliefs and Institutions, memperlihatkan pandangan yang tak jauh beda dengan Margoliouth.

Karya monumental Schacht ialah The Origin of Muhammadan Jurisprudence. Ia katakan bahwa ia meneguhkan apa-apa yang telah disimpulkan pendahulunya. Ia menemukan bahwa ketika untuk pertama kalinya hadis mulai beredar, hadis tidak dirujukkan kepada Nabi, tetapi kepada tabi’in, kemudian pada fase berikutnya kepada sahabat, baru setelah beberapa waktu lamanya, baru merujuk pada Nabi.

Rahman tidak bersepakat dengan keempat orinetalis itu perihal statemen bahwa konsep sunnah merupakan kreasi kaum muslim belakangan. Konsep sunnah, dalam pandangan Rahman, tetap konsep yang shahih dan operatif sejak awal Islam dan tetap demikian sepanjang masa. Terhadap Ignaz dan Margoliouth, Rahman mempertanyakan, bahwa di antara kedua orang tersebut tidak ada yang memutuskan apakah sunnah awal masyarakat muslim dipandang sebagai sunnah lantaran kebiasaan Arab praIslam atau karena Quran telah memperkenalkan modifikasi terhadapnya. Bila opsi kedua yang terjadi, perlu digarisbawahi bahwa dalam teori keagamaan, sesungguhnya telah terjadi pemutusan hubungan antara kebiasaan pra-Islam dengan sunnah yang Islamis”.

“Adakah perbedaan definisi Sunnah ala Rahman dengan definisi sunnah orang kebanyakan, yang berarti perilaku, perkataan, dan putusan Nabi, setelah itu habis perkara”. sambung mahasiwi lainnya.

“Generasi-generasi belakangan memang mengartikan sunnah demikian, dan kata itu memiliki orientasi normatif. Namun Rahman ingin mengatakan bahwa kata sunnah berarti tindakan aktual generasi sesudah Nabi yang ingin meneladani sang Nabi. Dan isi sunnah, Rahman mengibaratkannya dengan dasar sebuah sungai yang terus menerus mengasimilasi unsur-unsur baru, karena sunnah ialah praktik aktual masyarakat yang hidup dengan situasi sosial, budaya, dan politik yang beragam. Situasi yang demikian amat memungkinkan munculnya tafsir baru atas praktik ketauladanan Nabi, meski tetap saja dalam koridor Quran dan Sunnah”, terang Ahmad.

Lantas kapan sunnah mulai menjadi sebuah hadis? Tanya mahasiswa berbaju kotak-kotak.

"Yang terjadi kemudian ialah munculnya kebutuhan akan semacam kanonisasi pengalaman interpretatis-asimilatif dari masyarakat muslim generasi sesudah Nabi. Proses tradisi yang hidup tak mungkin berlanjut tanpa batas, karena dalam jangka panjang di tengah makin kompleksnya struktur sosial, budaya, dan politik masyarakat, struktur ideologis religius akan terancam kacau balau tanpa pangkal rujukan yang otoritatif. Pada titik inilah muncul hadis, (dalam skala besar) yakni usaha formalisasi dan verbalisasi sunnah.
Bila digambarkan dalam bagan, kira-kira seperti ini.
TELADAN NABI SAW
|
PRAKTEK PARA SAHABAT
|
PENAFSIRAN INDIVIDUAL
|
OPINIO GENERALIS
|
OPINIO PUBLICA (SUNNAH)
|
FORMALISASI SUNNAH (HADITS)
Hanya saja, kehadiran hadis tidak berlangsung adem ayem. Muncul kekuatiran-kekuatiran (yang nyatanya memang terjadi) seperti keharusan doktrin teologis, dogmatis, dan hukum untuk merujuk pada otoritas Nabi sebagaimana dituntut oleh logika fenomena kemunculan hadis, ditakutkan akan menyumbat proses interpretasi yang bebas dan kreatif sebagaimana dapat dilakukan dengan leluasa semasa eksis “tradisi yang hidup”. Muncullah kaum oposisi terhadap hadis, yang terlihat dalam karya sang ahli hukum al-Syafi’I, penggadang-gadang penerimaan hadis Nabi tentang hukum dalam skala massal seagai dasar hukum.

Para oposisi ini beranggapan bahwa praktik ketauladanan Nabi dalam masyarakat lebih mencerminkan warisan ajaran Nabi daripada hadis samar-samar yang dinyatakan bersumber pada Nabi tapi tak mempunyai dasar dalam masyarakat. Tapi pada pertengahan abad ke-3 H/9 M, hadis telah menjadi mapan dalam arti mempunyai bentuk tertentu, isi yang detail, dan oposisi terhadapnya mulai kewalahan. Untuk mengumpulkan, menyaring, dan mensistematisir hadis, berlangsunglah apa yang dinamakan Gerakan Pencarian Hadis”. Buahnya ialah beberapa koleksi hadis telah dihasilkan pada akhir abad 3H/permulaan abad 10 M. Pada masa itu pula, kritik hadis disempurnakan dalam ilmu hadis, yakni kritik yang ditujukan pada isnad atau mata rantai perawi hadis.” Dengan panjang lebar, Ahmad menjelaskan kemunculan gerakan hadis dan definisi hadis.

Perhatian sedang terfokus di ruang kuliah, tiba-tiba terdengar suara Luthfi dari Utan Kayu, ia mengajukan persoalan seakan ingin memantik diskusi. “Hanya saja, sesudah itu studi hadis justru terforsir pada wilayah sanad, studi sanad menjadi dominasi baru, ia melaju kencang laksana deret ukur, berbeda dengan studi matan yang melangkah tertatih selaksa deret hitung. Padahal, persoalan hidup kian kompleks, dan menantang kaum muslim merumuskan formulasi ajaran Islam sebagai solusi. Orang lantas menyebut-nyebut, katanya ajaran Islam lintas zaman, dan bukankah Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam?

Buru-buru Hamid Basyaib nimbrung, “Nah itu dia keluarbiasaan Rahman, ia punya tawaran jitu menjawab kegelisahan Luthfi, dan barangkali bukan hanya Lutfi tapi juga banyak ulama yang lain. Setelah membaca karya Rahman, saya berpikir, ternyata agama itu bisa dibicarakan demikian ya, apatisme saya pada kemandekan pemikiran Islam pun mulai berubah menjadi optimisme.

Menurut Rahman, umat Islam perlu sesegera mungkin melakukan reevaluasi terhadap unsur dalam hadis dan reinterpretasi matan hadis sesuai kondisi sosial saat ini, yang bukan saja jauh berbeda dibanding situasi sosial saat keluarnya hadis, tetapi juga terus dan akan terus berubah. Penafsiran situasional hanya mungkin dilakukan dengan pendekatan historis, sosiologis, filosofis, dan tentu saja ialah tetap melewati fase memahami petunjuk Quran yang relevan. Pertama, memahami makna teks dan asbabul wurud skala makro juga mikro. Yang dimaksud asbabul wurud makro ialah situasi masyarakat secara umum pada periode Nabi, sedangkan asbabul wurud mikro, yakni sebab-sebab khusus munculnya suatu hadis. Kedua, Memahami kalam Allah yang relevan dengan matan hadis dimaksud. Dari dua langkah ini saja, dapat ditemukan ide moral atau makna intrinsik hadis tersebut, untuk kemudian memasuki langkah berikutnya yaitu aplikasi dan adaptasi matan hadis dengan latar sosiologis saat ini. Saat itulah terjadi apa yang dikatakan Rahman sebagai usaha mencairkan hadis menjadi sunnah yang hidup sebagaimana telah dilakukan oleh generasi Islam awal sesudah Nabi.

Peserta diskusi di ruang kuliah UIN Suka mulai angkat bicara, “saya mencatat ada dua kontribusi Rahman terkait terobosan studi hadisnya yang berimplikasi besar pada perkembangan pemikiran Islam, mengingat fungsi hadis sebagai rujukan ajaran Islam. Pertama, menawarkan metode kritik hadis yang selama ini terlampau didominasi oleh kritik sanad, dan secara tidak langsung meminggirkan peluang terhadap kritik matan. Kedua, membuka jalan pemikiran alternatif atas kebekuan metodologi pemikiran Islam yang selama ini menyandarkan diri pada metodolgi yang dibangun ulama madzhab yang beraroma formalistik, tekstual, dan tidak holistik”.

Lutfi melirik jam di tangannya, pukul 14.00, tahu bahwa diskusi telah berada di ujung jalan, Luthfi mulai memungkasi, “Yah, begitulah pegaweannya eyang Fazlur Rahman, ia ingin menciptakan semacam world view Islam sebagai jawaban Islam berhadap-hadapan dengan laju zaman”. Rahman sadar benar, bahwa kaum muslim yang berjiwa tradisionalis tentu tidak akan gampang menerima pemikiran-pemikirannya. Dia hanya bisa berharap sekaligus menyarankan agar mereka sudi mempelajari pemikiran Rahman dengan objektif dan dengan kejujuran terhadap sejarah yang malah akan menguatkan Islam. Tulis Rahman, “Sesungguhnya Tuhanlah yang Menempa Sejarah”.

Jika murid-murid Rahman diumpamakan pendekar, maka sang guru adalah pandhita dari Chicago. Nama negara bagian itu makin dikenal dunia, pasca pemilihan presiden Amerika Serikat yang tuntas 4 November lalu. Chicago ialah negara bagian, tempat sang presiden terpilih, Barrack Hussein Obama tinggal. Seandainya Rahman masih hidup, saya kira ia akan menyukai jargon kampanye Obama, “Change, We Believe In”.

Read More......