Setelah semalam mengunjungi sekaten, esok siangnya, tanpa sengaja, saya menemukan corat-coret isi surat kabar Hindia Baroe tertanggal 17 Agustus 1925.
Tulisan ini saya cari-cari sewaktu saya menulis tentang sekaten babak pertama. Saya akan sedikit menulis sari pati tulisan itu plus mengutip langsung beberapa kalimat,
Sekaten telah bertukar sifat, tadinya dimaksudkan untuk menghormati kemuliaan hari lahir nabi atau berkaitan dengan perkara agama, kini sekaten tak ubahnya pasar malam biasa layaknya pasar Gambir yang diadakan juga sekali dalam setahun di Batavia.
Tahun itu, rencananya pemerintah akan memagar ¾ alun-alun dengan gedek alias dinding yang terbuat dari anyaman bamboo. Maka toko-toko dan tontonan yang memakai tempat lebih dari 3 elo persegi, mesti memakai tempat di dalam tutupan dengan membayar sewa tanah atau sewa pondokan (stan), atau juga panggungnya. Dan bukan saja penyewa stan yang ditarik uang, tetapi juga para pengunjung harus membayar uang masuk sebesar 5 sen. Atas dasar itu juga, sang penulis lantas membuat analogi yang cerkas, “Pasar Gambir pindah Jogja”.
“Sifat yang demikian itu persis sifat pasar Gambir di Betawi itu, jadi boleh penulis sebut pasar Gambir pindah Jogja.”
Penulis seakan terheran-heran, “pemerintah Jogja akan mengubah dasar dan sifat keramaian sekaten itu dengan tidak mengingati bahwa keramaian itu kepunyaan orang umum di Jogja, baikpun orang kota maupun orang desa. Rupanya hak itu akan digagahi oleh pemerintah Jogja yang berarti mencabut hak orang banyak (hak keramaian). Yang dikuatiri adalah pikiran dan perasaan orang desa, karena mereka pergi ke alun-alun untuk mengambil berkah dari sekaten, dan melihat keramaian sekaten juga tontonan di alun-alun, yang mereka merasa diadakan oleh sinuhun dan itu sebagai kemurahan sinuhun”.
Semalam, saya bersama adik lelaki alias si bungsu, juga ponakan saya yang mintanya dipanggil adik itu, akhirnya pergi juga ke sekaten. Kami sengaja berangkat tak memakai motor, selain alasan hujan, juga karena ingin mencobai bus transJogja. Kami turun di halte Vrederbeurgh, menyusuri jalanan nol kilometer.
Jogja, tetap saja manis juga romantis kalau malam begini, meski hujan turun. Sepintas, sekaten tetap saja seperti dahulu, berjejer penjual berondong, aromanis, tahu petis, bolang-baling, dan tiba-tiba adik saya menyeletuk, “mbak, itu lho wayangnya.” Saya menoleh, seorang lelaki tua sedang mengatur banyak wayang di atas kain putih, saya melihat ada gareng juga petruk, tapi saya terus berlalu.
Sebelum berangkat, di meja makan, ayah memang sempat mengenang, kalau dahulu, Fais, adik saya, tidak akan pulang dari sekaten sebelum membeli wayang-wayangan. Tadinya, saya penasaran, karena selama ini mata saya tak jeli menemukan penjual wayang di sekaten, sampai kemudian saya berniat membeli untuk menambah hiasan kamar yang baru saja saya tata. “mosok dari dulu cuma caping hiasan kamar yang nyentrik”, tapi malam itu niatan saya terbatalkan.
Kalau ponakan saya ini, langganan main ombak, yakni salah satu jenis permainan yang ditawarkan di pasar malam, setidaknya selain rumah hantu, permainan ini lumayan seru, karena pengunjung yang duduk di kursi dari papan yang disusun melingkar dan mengambang, bakal digoyang-goyang ke atas maupun ke bawah seperti naik kapal lantas digoyang ombak.
Tapi saya paling tak suka berlama-lama di arena permainan, tak lama kami sudah berlari kecil memasuki kawasan paling ramai di 7 hari terakhir perayaan sekaten, yakni depan masjid gede.
Hujan mengguyur Jogja makin deras, saya lihat para penjual telor merah yang ditusukkan (khas sekaten) tak lagi berjejalan di sekitaran depan masjid besar sebagaimana biasa, karena beberapa perempuan tua penjual telur dan sirih mesti menyingkir ke pinggir, sekadar berteduh.
Sengaja saya memilih warung nasi gurih tepat di depan masjd, agar bisa menyaksikan kerumunan warga menonton gamelan, juga orang-orang yang memenuhi kursi di tempat berlangsungnya ceramah yang dibawakan oleh seorang perempuan (Aisyiyah), pada mimbar yang diletakkan di bangunan sekitar pintu masuk kawasan masjid besar sebelah timur.
Tapi kali ini, saya datang dengan rasa dan pikiran yang berbeda dari tahun lalu. Muasalnya adalah hasil pembacaan saya pada Koran tua 1925, yang memuat kesibukan Muhammadiyah termasuk Aisyiyah saat berlangsungnya perayaan sekaten. Dan salah satu yang diungkapkan ialah perihal ceramah oleh muballighoh Aisyiyah, yang sampai kini berlangsung, dan tepat sejauh mata saya memandang. Sayangnya, jam belum menunjuk pukul 20.00, sehingga ceramah belum juga dimulai, padahal hujan makin lebat, dan saya mesti kembali selekasnya.
Gamelan mulai ditabuh, ceramah mulai dibuka, tetapi saya mesti juga pulang, saya sempatkan membeli telur barang 3 butir, plus daun sirih dan sirih kering yang biasa digunakan untuk menyirih, dengan bunga kanthil di ujungnya. “Ini berkah sekaten mas,” perempuan tua penjual menerangkan, “selain telur, tambah sirih ya mas, nanti bunga kanthilnya disimpan di dompet biar rezeki nambah, kalau masih sekolah, bunganya taruh saja di selipan buku, biar pinter”, senyum kami makin lebar dari sebelumnya, “ya, bu, beli 2 ya, (mesti kami tak tahu bakal diapakan daun sirih juga bunga kanthil itu nantinya, saya kuatir barang itu bakal berakhir di plastic hitam dan ujung-ujungnya tempat sampah).
Perempuan penjual lain lewat, “wah mbah, payu iki”, si mbok menimpali, “tapi hujan je”, perempuan penjual yang lewat balik membalas, “tapi laku tho,” Lantas kata si mbok, “iya, syukur hujan ya,” Saya cuma mbatin, orang Jawa itu, pancen paling bisa kalau disarankan menerima dan mensyukuri hidup, meski kadang suka salah kaprah. Contohnya ya ibu penjual telur abang tadi.
Kami bergegas pulang, tapi ponakan saya tetap ngotot, “aunty, beli telur di ibu yang duduk di pinggir dinding itu lho, kasihan udah tua”. Saya lihat, seorang perempuan tua, yang melindungi tubuhnya bersama barang dagangannya dengan plastic putih transparan, plastic itu benar-benar basah, tapi ia tetap saja menyusun telur, tanpa tahu buat apa, kami beli saja telut merah utuk kali kedua. Begitu naik taksi, ponakan saya nylethuk, “besok kalau ke sekaten, aku ga mau main, Cuma beli aromanis, ngasih uang ibu-ibu tua tadi, terus beli nasi gurih dan aromanis.” Buat saya, itu kabar gembira dari langit, apalagi dia kembali mengulang keinsyafan itu begitu kami masuk pintu rumah. Jogja selalu hujan di malam hari juga saat siang, setidaknya semenjak 2 hari lalu saya tiba di Jogja, sugeng rawuh Jogja..
Jumat, 04 April 2008
Sekaten edisi 2
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar