Kamis, 22 Mei 2008

In Memoriam Soerastri Karma Trimurti

Pertengahan Mei, saya mesti berangkat ke Batavia, lantaran lembaga tempat saya bekerja: I:Boekoe (Indonesia Boekoe), punya hajatan yang diberi nama “Festival Mei”. Berita keberangkatan datang tiba-tiba, tepatnya h-1. Saya tak sempat membuat rencana, akan kemana saja saya selama singgah di ibu kota.
Tapi saya ingat, saya mesti ketemu dengan Surastri Karma Trimurti.

seseorang yang saya tulis riwayatnya dalam esai pendek: 2000 kata, lagi-lagi karena pekerjaan.

Saya dengar dari penjaga museum “pergerakan perempuan Indonesia” yang terletak tak jauh dari kampus saya sekarang (UIN) Sunan Kalijaga, bahwa ia sedang berobat ke Amerika, saya jadi sangsi akan bertemu.

20 Mei 2008, Mata Hari Lounge, Jl. Veteran No. 32, Launching dan Bedah Buku “Kronik Kebangkitan Indonesia”.
Malam itu, kali kelima saya didaulat menjadi mc, setelah lima tahun tidak menyambangi. Tapi kali itu saya sempat tak bersemangat, karena saya gagal berangkat bedah buku karangan Cora de Vreede, buku babon sejarah pergerakan perempuan Indonesia yang telat diterjemahkan. (karena buku ini dirilis semenjak tahun 1964-an). Meski para nama pembicara bedah buku tak membuat saya sumringah, tapi saya benar-benar ingin hadir.

Waktu mepet, saya tak mungkin telat karena ada job mc, apalagi hari itu libur nasional, sehingga niatan berangkat dari Salemba (sebut Perpustakaan Nasional), yang berarti tak jauh dari tempat acara, jadi batal. Kemacetan Jakarta membuat saya makin ragu, bahwa saya akan datang tepat waktu di Veteran I.

Seperti biasa, saya terduduk di sofa empuk, utara panggung. Tengah acara bedah buku, tiba-tiba, Taufik Rahzen, yang secara tiba-tiba juga menjadi moderator, mewartakan kabar duka. “Ali Sadikin dan SK Trimurti meninggal dunia”.

Ma jleg
, saya terpaku barang beberapa detik. Tubuh saya melunglai mendengar nama yang tersebut paling akhir. Saya menghela nafas pendek..

Tentu saja, pembaca tulisan ini bisa menebak sabab musababnya.

Malam itu juga, sesudah memungkasi acara, saya hunting berita perihal kematian Surastri, terutama tempat kematian dan alamat rumah. Alamak, ia wafat tak jauh dari kantor saya di Veteran I, yakni di RS Gatot Subroto.
Saya jadi ingat, tentang nilai strategis kawasan kantor saya, yang selalu diulang-ulang bapak Taufik, termasuk tak jauh dari tempat seorang perempuan yang saya ingin sambangi melepas ajal. Hah!

Alamat rumahnya tak kunjung saya temukan malam itu. Paginya, dalam perjalanan “sekolah” (ke perpusnas), saya terjebak macet. Di mana-mana demonstrasi, karena hari itu adalah hari Rabu, tanggal 21, bulan Mei, alias bertepatan dengan 10 tahun lengsernya Soeharto yang telah terkubur. Niatan menghadiri pemakaman perempuan kokoh itu saya urungkan. Bibir saya hanya bisa membaca Al-Fatihah, surat andalan saya, apalagi bagi orang istimewa.

Dua malam dari kematiannya, saya buka kembali file lama, tulisan yang saya beri judul:

"Zus Tri, Tiga Zaman Meringkuk dalam Bui"

Rekan seperjuangannya biasa memanggil perempuan kelahiran Boyolali ini dengan “Zus Tri”. “Zus”, sebutan bagi pejuang perempuan, di samping “bung” bagi kaum laki-laki. Penjara bukanlah tempat yang asing, karena zus Tri telah menghuninya semenjak tahun 1936. Tiga zaman tak pernah dilewatinya tanpa mendekam dalam bui: masa kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang, dan masa revolusi. Beberapa kali bertaruh dengan nyawa, sampai-sampai ia tak lagi takut mati. Zus Tri terlanjur percaya, soal hidup mati Tuhan penentunya. Buktinya, ia masih bertahan hidup, meski usianya lebih dari 90 tahun, (kalimat ini saya ralat malam ini: hingga ajal menjemput pada usia 96 tahun lebih 9 hari).

Nama perempuan itu, Surastri, yang nantinya setelah ia memimpin majalah Suara Marhaeni, Surastri menggunakan nama samaran Trimurti. Sebelumnya, ia pernah juga menggunakan nama Karma sebagai nama samaran. Semenjak itu, orang lebih mengenal nama Trimurti dibanding Surastri. Dalam majalahnya, selaku pemimpin redaksi, ia menuliskan namanya dengan Surastri Karma Trimurti yang disingkat S. K. Trimurti. Lahir pada Sabtu, 11 Mei 1912, sekitar dua tahun sebelum perang dunia pertama digelar. Mangunsuromo adalah nama ayahnya, yang menjadi carik saat Trimurti lahir, dan meningkat hingga didaulat menjadi camat.

Sewaktu Mangunsaromo, ayahnya, mengadakan turne (perjalanan) ke desa-desa yang menjadi wilayah kekuasaannya, adakalanya Trimurti ikut. Maka ia lihat sendiri kemiskinan penduduk desanya, yang kebanyakan masih bertelanjang tanpa memakai baju. Sebaliknya, pemandangan begitu kontras saat ia bersama ayahnya mengunjungi kakak lelakinya, yang bersekolah di Europese Lagere School. Trimurti menyaksikan para sinyo dan noni Belanda yang berpakaian rapi, pertanda hidupnya yang mapan. Ia sedikit gusar menemukan perbedaan yang mencolok, tetapi Trimurti tak pernah menanyakan sebabnya.

Setelah tamat dari Tweede Inlandsche School (Sekolah Ongko Loro), Trimurti meneruskan ke Meisjes Normaal School (Sekolah Guru Putri), di Jebres, Solo. Karena lulus dengan angka terbaik, Trimurti diangkat menjadi guru di Sekolah Latihan, tempat murid Sekolah guru belajar praktik mengajar. Di sana ia tak betah mengajar, dan dipindah ke Sekolah Ongko Loro Alun-Alun Kidul. Baru beberapa bulan, Trimurti lantas dipindah ke Banyumas, mengajar pada Meisjesschool (sekolah khusus anak-anak perempuan). di Banyumas inilah, ia mulai masuk menjadi anggota perkumpulan Rukun Wanita, dan beberapa kali mengikuti rapat Budi Utomo cabang Banyumas.

Trimurti juga membacai koran dan majalah yang mewartakan kegiatan macam-macam organisasi dan partai, serta mengenalkannya pada Soekarno, yang dikenal sebagai “jago podium”-nya Partai Nasional Indonesia (PNI). Sehingga saat Trimurti mendengar bahwa Soekarno beserta sejumlah pemimpin Partindo akan menggelar rapat besar di Purwokerto, segera ia bersama Suprapti, yang juga seorang guru, berangkat ke Purwokerto naik dokar. Trimurti ingin melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana Soekarno melancarkan agitasi dari atas podium. Seingatnya, kala itu Soekarno bicara tentang kolonialisme dan imperialisme yang menjadi musabab rakyat sengsara.

Berkat brosur siaran dari Persatuan Bangsa Indonesia dan Partindo, keduanya nekat hijrah ke Bandung, pada 1933. Mereka ingin bergabung dalam Partindo, meski untuk keinginan ini, keduanya harus menanggalkan status sebagai guru pegawai pemerintah (setelah pemberlakuan peraturan, bahwa pegawai negeri tidak dibenarkan menjadi anggota Partindo ataupun PNI Baru). Sengaja Trimurti pergi ke Bandung, karena juga tak tahan dikuntit seorang Politieke Inlichtingen Dienst, PID, yang giat mengawasi gerak-gerik Trimurti. Belakangan, diketahuinya, seorang PID ini, justru jatuh hati pada Trimurti dan bersedia meninggalkan pekerjaan bahkan juga bergabung dengan Partindo, bila Trimurti mau menerimanya. Tetapi tetap saja, permintaan lelaki PID itu ditolaknya.

Di Bandung, baik Trimurti maupun Suprapti mengikuti kursus kader Partindo, yang dibina langsung oleh pemuka Partindo, termasuk bung Karno. Ia diminta menulis pada majalah Fikiran Rakyat, corongnya Partindo, “Tri, tulislah karangan, nanti kami muat dalam majalah Fikiran Rakjat”. Tulisannya memang benar-benar di muat, dan Itu kali pertama tulisan Trimurti dibaca khalayak. Di Bandung, selain tinggal di asrama yang khusus disediakan bagi peserta kursus, Trimurti juga sempat tinggal di rumah bu Inggit, sebelum akhirnya ia pulang karena tak yakin bisa bertahan hidup di Bandung.
Dari Klaten, rumahnya, ia menuju Solo, tempat Trimurti berjibaku mendirikan majalah berbahasa Jawa, Bedug, yang hanya terbit sekali, karena berganti nama menjadi Terompet, dan berganti bahasa, bahasa Indonesia. Lagi-lagi Trimurti tak jenak tinggal lama di Solo, sehingga ia pulang lagi ke Klaten.

Semenjak kepulangannya dari Bandung, dan terlibat dalam kegiatan politik, ia tak pernah lama menetap di satu kota, termasuk di Klaten, rumahnya sendiri. Laporan ihwal kegiatan politiknya selalu mampir ke telinga ayah lewat keluarga yang kebetulan bekerja di kalangan PID. Laporan yang membuat gelisah Mangunsaromo, ayahnya, karena kebanyakan saudara Trimutri adalah pegawai negeri terutama menjadi pamong praja. Kata ayahnya, “Tri, sekarang begini saja. Kalau kau mau ikut ayah, kau harus menghentikan kegiatanmu itu”. Dihadapkan pada dua pilihan, Tri memilih terusir secara halus dari rumah.

Tujuannya kali ini ke Yogyakarta, tempat Sri Panggihan, teman berjuang di Partindo tinggal. Saat itu, Sri Panggihan baru saja keluar setelah 50 hari di penjara bersama teman perempuan lainnya dari organisasi Mardi Wanita, perkumpulan perempuan di bawah panji Partindo. Beberapa orang pemimpin Mardi Wanita adalah aktivis Partindo, sementara para penyokong hampir seluruhnya orang Partindo, sehingga perkumpulan ini terkena Vergadering Verbod (larangan berkumpul dan rapat).

Para aktivis memang tak patah arang menghadapi larangan berkumpul, macam-macam siasat digunakan. Ada yang menggelar rapat sambil berjalan di gang-gang, dan bila hampir tertangkap basah, mereka akan pura-pura menari dan membunyikan musik lewat gamelan atau sekadar suara mulut. Bila sudah demikian, PID tak punya bukti dan tak bisa menangkap. Tapi tak semua beruntung, berpura-pura menuai padi, Sri Panggihan beserta teman perkumpulannya, mengadakan rapat di tengah sawah. Apes nasib mereka, karena rapat tercium oleh PID sehingga mesti meringkuk dalam penjara.

Untuk bertahan hidup, Sri Panggihan dan Trimurti bekerja membatik pada saudagar batik ternama: Kudonarpodo, di Nyutran, Yogyakarta. Mereka bekerja bergantian, bila Trimurti bekerja, Sri Panggihan berkeliling membina organisasi dari rumah ke rumah, demikian sebaliknya. Mardi Wanita lalu berganti nama menjadi Persatuan Marhaeni Indonesia (PMI) yang memiliki majalah organisasi, Suara Marhaeni. Karena Trimurti dianggap berpengalaman menulis dan mengelola media, maka ia didapuk mengemudikan majalah. Pada 1936, karier organisasi Trimurti melonjak. Ia menjadi ketua pengurus besar PMI, yang berpusat di Semarang, dan membuatnya harus bertolak ke kota itu.

Di kota inilah ia berkenalan dengan terali besi. Pasalnya, ia tak tahan alias kesal pada tekanan pemerintah yang bernafsu melumpuhkan pergerakan. Beberapa temannya bahkan merasa frustasi, putus asa dan hampir berhenti menjadi pejuang. Maka bersama Sutarni, sekretarisnya di PMI, ia membuat pamflet atau selebaran, yang isinya menelanjangi ketidakadilan kolonial dan menunjukkan sikap anti kapitalisme dan imperialisme. Pamflet ini dibuatnya malam-malam, di kuburan Cina, desa Wonodri, yang setelah selesai, dibungkusnya dalam kain putih. Tak disangka, pagi-pagi benar dua orang PID menggeledah rumahnya dan berhasil menemukan selebaran yang tadinya sempat ia lemparkan (meski tidak tepat sasaran) untuk menghindari mata jeli PID. Trimurti dan Sutarni dibawa ke kantor polisi. Untuk menjaga gerak PMI, Trimurti mengaku bahwa ia mengerjakan sendirian, sehingga Sutarni, sekretarisnya, bebas dari tuntutan.

Sembilan bulan ia menghuni penjara khusus perempuan, di Bulu, Semarang. Karena berstatus tahanan politik, Trimurti ditempatkan dekat kantor Tata Usaha Penjara. Depan kamar tahanannya, terdapat halaman selebar 1 meter. Jendelanya berterali besi, sedangkan pintu tebal dikunci dua kali, kunci biasa dan gembok. Kamar tahanan Trimurti bersebelahan dengan kamar tahanan perempuan Indonesia yang kawin dengan orang Belanda, dan kewarganegaraannya sudah disamakan dengan bangsa Belanda, sehingga perlakuan pegawai penjara lebih istimewa. Pakaian tahanan Trimurti adalah kain sarung lurik dan baju kurung biru tua, ia tidur di atas papan beralas tikar tanpa kasur. Bantalnya kecil sebesar guling bayi, berisi dami (tangkai-tangkai padi), karena itu keras sekali dan Trimurti tak pernah tidur menggunakan bantal yang justru membuat kepalanya sakit. Sedangkan fasilitas tetangga sebelahnya jauh lebih baik.

Perempuan yang kawin dengan orang Belanda itu diberi sarung yang baru dan pakaian berwarna putih. Tempat tidurnya diberi kasur dengan seprei putih, sementara jendelanya diberi gorden putih. Kesemua itu diganti tiap pekan, karena harus dicuci oleh para tahanan orang Indonesia. Bukan saja perkakas yang mesti dicuci, piespot (tempat kotoran) tahanan berwarganegara Belanda juga harus dibuang dan dicuci oleh para tahanan orang Indonesia.

Trimurti keluar penjara pada 1937, setahun setelahnya ia kembali ditahan terkena persdelict. Sayuti Melik, calon suaminya, saat itu meminta Trimurti memuat tulisannya dalam harian Sinar Selatan, surat kabar tempat Trimurti ikut membantu di dalamnya. Tulisan bernada provokatif itu dimuat tanpa nama pengarang. Kala artikel itu dituduh menghasut, Trimurti mengaku sebagai pengarang, dan berarti ia bersiap ditahan. Dalam pikirannya, itu lebih baik daripada Sayuti harus masuk lagi penjara setelah pernah di tahan di Digul. Setelah ditahan sementara, ia dikenakan tahanan luar, yang justru digunakannya untuk menikah dengan Sayuti Melik (1938). Untuk kesekian kali ia harus berselisih paham dengan orang tuanya yang menyatakan keberatan dengan rencana pernikahannya, yang akhirnya tidak berlangsung di rumahnya, Klaten, tetapi di rumah Kartopandoyo (bekas digulis), di Kabangan, Solo.

Lima bulan setelah anaknya lahir, Trimurti benar-benar mendekam di penjara, di Bulu, Semarang. Tetapi getirnya dipenjara tak separah perlakuan yang didapatinya saat ditahan Kenpeitai, Jepang. Saat itu, baru dua bulan ia melahirkan anak keduanya, Heru Baskoro, ia sudah dipanggil oleh Kenpeitai, bernama Nedaci, di penjara Jurnatan, Semarang.

Mulanya Trimurti diinterogasi oleh Nedaci, interogasi yang tidak cukup lancar, karena Nedaci kurang pandai bahasa Indonesia, begitu pula sebaliknya Trimurti. Tetapi secara garis besar Trimurti tahu bahwa ia didakwa melawan Jepang, dan ia jawab bahwa ia tidak memusuhi Jepang atau Belanda. Ia hanya memusuhi sikap menjajah bangsa-bangsa itu. Jika Jepang datang untuk bersaudara, tentu akan disambut baik. Tetapi kalau kedatangan mereka ke sini untuk menjajah, maka dia akan melawan.

Kontan Nedaci marah, dan matanya melotot sambil mengeluarkan kata-kata yang tidak ia pahami. Lantas Nedaci berdiri mendekati tawanannya, sementara Trimurti melirik. Ia lihat Nedaci mengambil pentungan dari karet yang keras di atas meja. Lantas ia pukulkan pentungan ke arah kepala Trimurti. Mula-mula pelan, tetapi semakin lama semakin keras, sehingga terasa sakit sekali. Tiba-tiba ia sudah tak bisa menggerakkan sekujur badan dan tidak mampu merasakan sakit, karena urat syarafnya tak bekerja akibat kerasnya pukulan. Ketika pentungan dipukulkan tepat di atas ubun-ubunnya, sekonyong-konyong kepala Trimurti terjatuh di atas meja, tetapi matanya masih terbuka. Di puncak kekejaman itulah, Sayuti Melik, suaminya, yang telah lebih dulu ditahan, dipanggil dan dipaksa menyaksikan kondisi istrinya. Trimurti semakin memendam amarah, tetapi ia tidak kuasa bergerak dan hanya mampu memelototkan mata.

Setelah enam jam dalam ruang itu, ia dipindah ke kamar lain. Teringat anak lakinya yang seharusnya ia susui per-tiga jam, Trimurti nekat minta izin pulang, dan diperbolehkan dengan pengawalan dua orang resisir. Begitu sampai, segera ia susui Heru, anaknya. Rupanya, ASI Trimurti menjadi panas sebagaimana badannya.

Ia tetap kembali ke penjara dan baru pulang ke rumah sore hari. Setiap pagi pada hari-hari berikutnya, ia mesti menjalani pemeriksaan. Trimurti tidak mungkin lupa pada Nedaci yang menyiksanya dengan kejam, tetapi siapa sangka bila Nedaci justru mencintai Sumakti, adik Trimurti, yang dilihatnya beberapa kali sewaktu mengunjungi rumah Trimurti. Nedaci mengatakan itu pada Trimurti di penjara Jurnata, Semarang. Jelas saja ia tolak permintaan Nedaci yang ingin menikahi sah Sumakti. Mengiyakan berarti mengangkangi harga diri.

Selesai proses pemeriksaan, tanpa menerima keputusan apapun, Trimurti dikenakan tahanan rumah sampai bung Karno—yang saat itu sedang berada di Semarang— mendengar kabar Trimurti, dan mengusahakannya bebas untuk diperbantukan di kantor besar Putera, di Jakarta. Bung Karno tidak mungkin lupa pada Trimurti, kadernya di Partindo, yang nyaris dipenjara, karena pidatonya yang tajam dalam rapat perempuan yang diselenggarakan Partindo. Karena dianggap mengganggu ketentraman umum, Trimurti dipanggil polisi dan diinterogasi, apakah pidatonya dibuat oleh Soekarno? “Nona masih muda, lebih baik meneruskan sekolah saja, jangan suka dihasut Soekarno!”

Dua hari menjelang proklamasi, ia dan suami mendatangi bung Karno di rumahnya membincangkan keadaan dan sikap yang semestinya diambil. Ia di sana sampai malam, sehingga Trimurti menyaksikan datangnya tiga pemuda yang akan menyampaikan pesan golongan muda, dan dilanjutkan dengan datangnya pemimpin-pemimpin lain, seperti, Bung Hatta, Subarjo, Buntaran, dan Iwa K. Saat proklamasi dibacakan, Trimurti berada di tempat pembacaan, Pegangsaan Timur No. 56, bahkan sewaktu akan menaikkan bendera, ada suara yang memintanya memasang. Tapi ia tak mau, dan terpilih Latif Hendraningrat.

Semasa revolusi, Trimurti terpilih sebagai pengurus Partai Buruh Indonesia. Ia juga menjadi satu-satunya perempuan yang duduk dalam kabinet pimpinan perdana menteri Amir Syarifuddin, sebagai menteri perburuhan. Tetapi umur kabinet perdamaian ini hanya seumur jagung, tujuh bulan saja. Setelah Amir menyerahkan mandat, bung Karno menunjuk Hatta menjadi formatir kabinet. Sementara Amir menggalang kekuatan lewat Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang nantinya mencakup Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis, PBI, dan Pesindo.
Kembalinya Muso dari luar negeri—yang kemudian bergabung dalam PKI—semakin membuat ramai pertarungan politik. Tentang Muso, Trimurti pernah punya pengalaman. Saat Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) mengadakan rapatnya yang dihadiri Muso, Trimurti sempat bertanya padanya, “Pak, saya orang awam ini mau bertanya, mengapa pak Alimin pro perundingan, sedangkan pak Muso tidak? Padahal dua-duanya PKI dan dua-duanya pernah ke Moskow? Muso menjadi marah mendengar pertanyaan Trimurti. Sambil menunjuk muka Trimurti di depan rapat yang kala itu dikunjungi wakil-wakil buruh se-Jawa, Muso menjawab, “nah inilah kalau mau tahu, inilah orang Trotskyst”. Trimurti lantas tersinggung, ia katakan pada Setiajid, rekannya di PBI, bahwa bila Muso datang ke kantor PBI untuk membicarakan fusi, Trimurti tak bakal mau menemuinya. Rupanya Setiajid menyampaikannya pada Muso, sehingga paginya Muso datang meminta maaf ke rumah Trimurti sekaligus menjadi kantor PBI.

Muso memang menginginkan partai yang tergabung dalam FDR dilebur saja dan menjadi satu partai dalam PKI. Menanggapi ajakan PKI, beberapa pengurus besar PBI berniat mengadakan rapat di antara pengurus besar saja untuk mengambil keputusan. Trimurti tidak sepakat, dan ia menilai bahwa keputusan itu hanya dapat diperoleh melalui mekanisme konggres. September 1948, PBI menggelar konggres di Madiun, dan dimulai pukul 19.00. Belum lama dimulai, terdengar kabar bahwa telah pecah peristiwa Madiun. Konggres terpaksa dihentikan, dan peserta konggres diminta menyelamatkan diri masing-masing, karena pemerintah sedang mengadakan pembersihan, sementara anggota FDR adalah sasarannya.

Meski tak tahu menahu ihwal peristiwa Madiun, tetapi PBI terlanjur tercatat sebagai anggota FDR, yang berarti mereka semua siap ditangkap, termasuk Trimurti. Dari Madiun, Trimurti menempuh jalan utara, melewati Mojokerto, belok ke barat, naik kereta melalui Cepu, Pati, kemudian Purwodadi. Di Purwodadi ia turun, tetapi tak lama tentara Siliwangi telah menguasai kota itu. Buru-buru Trimurti mengungsi hingga Pati lalu pergi ke Juana, ternyata di Juana inilah ia tertangkap. Trimurti dibawa ke Markas, dan dikirim ke Pati untuk ditahan sementara di markas kepolisian Pati.

Malam itu, Trimurti tidur di atas meja tulis kecil dalam ruangan. Namun ia tidak bisa tidur, karena beberapa kali prajurit bersenjata, sambil mengacungkan ujung bayonet ke mukanya, berkata, “Inilah pengkhianat. Uangnya tentu sudah banyak diterima dari Van der Plas”. Ada pula yang tega sengaja meludah dari balik terali ditujukan pada Trimurti, tetapi Trimurti diamkan saja. Paginya, Trimurti mulai diperiksa oleh Perwira Polisi Urusan Politik. Begitu selesai dikatakannya bahwa Trimurti memang tidak terlibat. Trimurti cuma bisa menimpali, “Nyatanya saya anggota menjadi anggota FDR, karena saya anggota PBI. Jadi kalau FDR dipersalahkan, dengan sendirinya semua anggota ikut dipersalahkan. Sudah biasa, dalam revolusi terjadi korban-korban berjatuhan. Korban itu bisa terdiri dari orang-orang yang betul-betul salah, bisa juga terdiri dari orang-orang yang sama sekali tidak salah... Jadi kalau saya dalam hal ini menjadi korban yang konyol itu, itulah nasib saya. Dan semua akan saya terima”.

Selepas pensiun dari menteri, Soerastri pernah duduk jadi anggota Dewan Nasional RI, Diutus pemerintah belajar worker’s management, diangkat jadi anggota pimpinan Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Anggota Dewan Perancang Nasioanl, anggota Dewan Nasional Angkatan 45, anggota MPRS, anggota Perintis Kemerdekaan Indonesia, dan memperoleh Bintang Mahaputra V zaman Soekarno berkuasa.

Tentu saja, kiprah SK Trimurti dalam pergerakan tidak saja berhenti dengan sekadar menyebut posisi-posisi strategis sebagaimana di tulis pada paragraf sebelum ini. Anda tentu saja tidak akan mengetahui utuh keterlibatannya dalam pergerakan hanya dengan membacai buku biografi SK Trimurti bersampul coklat, yang ditulis oleh I.N. Soebagijo, sebagaimana pernah diakui sendiri oleh Soerastri.

Coba anda baca majalah Gerwis, organ milik organisasi perempuan radikal era pertengahan tahun 50-an plus majalah Api Kartini. Tetapi sayang sekali, kalau anda berharap menemukan majalah ini secara lengkap di Indonesia. Karena saya hanya menemukan majalah Gerwis 1 edisi, dan majalah Api Kartini sebanyak 9 edisi di perpustakaan nasional, tapi mungkin saja tidak kalau anda berkunjung ke Belanda.

Sebagai pungkasan tulisan, saya hanya mengingatkan, jangan salah menyebut kepanjangan dari huruf S pada namanya SK Trimurti, apalagi anda berani menyebut nama Soelastri. Kalau almarhum mendengar sendiri, bisa naik pitam ia dibuatnya. Apa pasal? Soelastri adalah nama istri Janaka yang kesekian, dan ia sama sekali tidak suka dimadu. Bukan saja bisa dibuktikan dari perselisihannya dengan Soekarno sewaktu presiden “penggemar” wanita cantik ini hendak menikahi Hartini, bahkan ia dengan “sadar” memilih berpisah dari suaminya, Sayuti Melik, lantaran ia hendak dipoligami. Selamat jalan Soerasti Karma Trimurti, meski kau harus hembuskan nafas terakhir tepat 40 hari sebelum pers perempuan Indonesia bakal merayakan seabad usianya: 1 Juli 2008.

Kubuat tulisan beriring instrumental “wind” Naruto yang menyayat hati.

Hajar Nur Setyowati, hajar.ns@gmail.com

Tidak ada komentar: