Kamis, 10 Januari 2008

Eyang Sartono

Kabar wafatnya sang maestro sejarah sosial saya dengar di tengah perjalanan ke Bandung, kala itu mobil yang berisi banyak orang sejarah atau setidaknya orang yang tak asing dengan nama Sartono, belum jauh meninggalkan Veteran. Mendengar nama sang eyang disebut-sebut telah menjemput ajal, saya masih tetap tak percaya. Saking sangsinya, saya minta teman saya yang mendapat berita kematian Sartono lewat SMS agar membacanya lebih teliti hingga akhir kata sms, maklum tak sedikit teman yang kerap kirim sms jayus berkedok pesan serius di awal kalimat .
Ternyata berita itu bukan warta bohong..

Sayang sekali saya tak sempat mengantarkan sang eyang lewat upacara yang biasa digelar UGM selaku penghormatan pungkasan pada setiap kematian guru besarnya. Saya memang bukan mahasiswa UGM atau bukan orang yang dikenalnya, tetapi begitulah pesona seorang Sartono sebagai guru, saya tetap menganggapnya sang guru meski saya tak pernah belajar langsung di bawah bimbingannya. Dan alangkah bahagianya saya, bila bisa menghantarkannya ke liang lahat sebagai takzim akhir saya pada seorang guru sebagaimana saya lakukan pada Kuntowijoyo.

Siang itu, di dalam mobil, saya hanya bisa mengingat satu momen dan itu berlangsung hampir 2 setengah tahun yang lalu, saat saya bertandang ke rumahnya. Kala itu kami, teman-teman Pers Mahasiswa UNY, Ekspresi, sedang menggarap buku kumpulan esai tentang Kuntowijoyo tak jauh setelah kematiannya. Dan kami membutuhkan komentar tepat dari orang yang tepat tentang seorang Kuntowijoyo, dan Sartono adalah seorang diantaranya. Ia dianggap seorang guru yang berhasil, lantaran bukan saja sang guru yang berhasil menjadi seorang mestro tetapi juga muridnya.

Rumah Sartono terletak tak jauh di depan gerbang barat masjid kampus UGM. Rumahnya memang terletak di wilayah perumahan dosen UGM, dan kebanyakan rumah di wilayah itu memang asri dan tentu saja sepi, begitu juga rumah Sartono. Saya tak ingat betul berapa kali saya ke rumahnya, yang jelas sewaktu mewawancarainya dan sewaktu memberikan buku kumpulan esai tentang Kuntowijoyo "Muslim tanpa Mitos" kepadanya. Dan telah dua kali saya menjumpainya, pertama, saat saya hadir di launching majalah Arena bercover warna merah dengan gambar pancasila. Kebetulan saat itu ia didaulat menjadi pembicara dan itu terjadi sewaktu bulan puasa, dan saya sempat memapahnya keluar ruangan sewaktu ia pulang. Ketika itu juga, saya baru tahu bahwa Sartono adalah seorang teman dari Yos Sudarso. Kali kedua bertemu Sartono terjadi saat saya meminta komentarnya tentang murid Sartono yang dibilang sukses: Kuntowijoyo.

Ia sudah teramat tua saat itu, untuk berjalan saja ia perlu dipapah istrinya, maklum penglihatannya sudah tak berfungsi baik. Tadinya saya sekadar meminta satu atau dua kalimat padat komentarnya tentang Kuntoijoyo untuk ditampilkan di cover belakang buku atau halaman depan buku "Muslim tanpa Mitos". Tetapi sepertinya tidak mudah memahamkan maksud permintaan saya pada Sartono, bahwa saya sekadar meminta sedikit komentar tentang Kuntowijoyo. Mulanya saya pancing dengan pertanyaan untuk memudahkannya memberi komentar. Yang terjadi justru, bukan satu, dua atau tiga kalimat yang muncul, tetapi banyak kalimat sampai-sampai bisa menjadi 1 tulisan berisi komentar dan deskripsi Sartono tentang muridnya yang berhasil menulis disertasi tentang Madura, sebuah karya sejarah sosial. Dan kalimat-kalimat panjang itu diucapkannya secara sistematis tanpa terpotong oleh pertanyaan berikutnya sama sekali. Saya teramat takjub dengan memorinya dan sistem berpikir sang maha guru, juga kalimatnya yang berisi dan diucapkan dengan padat. Amat terlihat bahwa ia seorang intelektual yang tidak pernah jenuh berkarya sesuai filosofinya yang ingin ia tularkan pada banyak orang, bahwa agar tak berfilosopi layaknya pohon pisang yang berbuah sekali lantas tak berbuah lagi. Pohon pisang memang bukanlah ibarat yang baik untuk memacu produktifitas karya seorang intelektual. Dan ia berhasil memberi tauladan.

Yang saya ingat sebagai inti pembicaraannya sekaligus yang terpilih sebagai komentar diantara banyak komentarnya tentang Kuntowijoyo adalah pesan laku "mesu budi" tentang prinsip bekerja keras dan tanpa pamrih, kerajinan, serba hemat, kesemuanya disertai ketertiban melakukan kewajiban terhadap pihak yang dihormati atau tugas yang dianggap suci. sebuah “askese intelektual” yang mestinya menjadi prinsip seorang intelektual. Dan pesan mesu budi pula yang ditularkannya pada Kuntowijoyo.

Bila Kuntowijoyo pernah mengatakan bahwa Sartono pernah menjadi seorang penyelamat. Itu terjadi sewaktu Kunto baru menggondol PhD dari Amerika, Kunto ditawari kedudukan mapan di sebuah lembaga swasta. Kunto sempat pula ingin mencalonkan sebagai dekan di Fakultas Sastra UGM. Tapi Sartono memberinya nasehat tentang laku-tindak “mesu budi” dan betapa pentingnya seorang intelektual memunyai integritas dan keberanian untuk menghadapi resiko menjadi miskin dan sendiri. Hal itu juga yang dikatakan Sartono tentang muridnya, dan ia memang mengaku pernah memberi arahan pada Kunto tentang filosofi "Mesu Budi" ini. Dan Sartono tampak bahagia, ketika mendengar sendiri Kunto bicara bahwa seorang intelektual sejati mesti siap menjadi miskin untuk mempertahankan integritasnya. Kunto mengatakan ini sewaktu menjadi pembicara di Uuniversity Center (UC) UGM yang terletak di belakang rumah Sartono..

Dari mimik dan nada bicara, terlihat kebahagiaan Sartono bahwa muridnya meneguhi prinsip mesu budi yang ia lakoni juga. Dan Sartono tahu persis tak mudah mempertahankan integritas seorang intelektual di tengah makin maraknya intelektual yang melacurkan diri.
Siang itu, setelah ia bicara panjang lebar, saya pungkasi obrolan kami, karena ia tak boleh lelah. Saya bantu ia berjalan memasuki ruang tengah di dalam rumahnya, sedangkan sang istri menyiapkan kursi untuk sang maha guru ini beristirahat. Selamat jalan, Pak Sartono, apakah anda menyusul wafat sang murid?

Tidak ada komentar: