Selasa, 15 Januari 2008

Soewarni

sudah tiga hari lebih, aku selesai menuliskan Soewarni. dia kakak Soewarsih Djojopoespito, penulis novel "manusia bebas".
Beberapa kali aku menulis tentang perempuan masa pergerakan, pasti tidak luput menulis kata poligami. apalagi saat menuliskan Soewarni.
Ia paling getol menentang poligami sampai-sampai perlawanannya pada perilaku lelaki beristri lebih dari satu itu, saya jadikan fokus utama. Dia juga perempuan yang bertikai dengan Ratna Sari, gara-gara aktivis Permi itu berapi-api di atas podium seakan menghalalkan poligami. Ia juga terkenal tajam menyindir tingkah lelaki, dalam forum itu saja ia mengatai laki-laki seperti ayam jago yang suka mengumpulkan perempuan.

Ee.. para lelaki yang duduk di belakang malah menanggapi dengan berseru pelan "kukuruyuk". Tentu saja, makin panaslah Soewarni.. (cerita tentang ini bisa didapatkan dalam biografi Maria Ulfah Santoso maupun Sujatin Kartowijono, atau cek langsung saja di koran-koran tahun 1935an. kata-kata "Lelaki seperti ayam jago" bahkan dipilih oleh Gadis Rasid menjadi sub judul dalam biografi Maria Ulfah Santoso yang ia tulis.

Soewarni juga perempuan pendiri organisasi Istri Sedar yang dikenal sebagai organisasi perempuan radikal awal tahun 1930-an, sayang tulisan tentang Soewarni atau Istri Sedar tidak banyak ditulis. Saya sendiri mengumpulkan dari tulisan yang tercecer, majalah Sedar (1930-an), dan tulisan E. Du Perron yang sempat datang pada konggres Istri Sedar. .
Tetapi begitu tulisan tuntas, saya puas, karena menulis tentang seseorang yang jarang tertulis..

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Sdri Hajar yth,

Terima kasih atas upaya Anda menulis mengenai nenek saya, Ibu Soewarni Pringgodigdo. "Eyang Mamie" (begitulah panggilan akrab beliau bagi para cucunya di keluarga besar Pringgodigdo) memang memiliki kekuatan dari karakternya yang keras, di jaman wanita masih belum banyak menikmati hak-haknya yang telah diperjuangkan oleh Eyang RA Kartini sebelumnya. Ketika saya masih kecil (ibu kandung saya adalah putrinya yg tertua) beliau sering berkunjung ke rumah kami, dan memang Eyang sering sekali cepat marah dan gusar. Beliau sangat perfeksionis, dan jarang mengalah dalam situasi apa pun (sifat yang kini diturunkan kepada cucu-cucunya). Selera kulinernya tinggi, dan beliau juga mengidap tekanan darah tinggi. Ia tidak takut siapapun, bahkan Bung Karno pun (yang juga adalah sahabatnya) sering dilabraknya bila memang Eyang tidak setuju suatu hal. Dari kenangan pribadi sebagai cucunya yang kedua (dan amat sering dimanja beliau), masih ada banyak sisi lain dari Eyang yang tidak bisa saya ceritakan di sini.

Ironisnya, walau beliau begitu menentang poligami, akhirnya malah mengalami perceraian, dan mantan suaminya, "Eyang Omo" (AK Pringgodigdo) menikah lagi dengan orang lain. Eyang Mamie pun sempat menikah pula dengan seseorang tapi tidak langgeng karena orang itu hanya mengejar harta beliau, dan dkurasnya sampai ludes (ini diceritakan oleh ibu saya).

Walaupun demikian, yang paling penting kita harus meneruskan perjuangan beliau melawan pelecehan terhadap kaum wanita, yang masih terus terjadi di Bumi Pertiwi ini, dibelakang kedok budaya maupun agama.

Salam dan terima kasih.
Sarjono Alibazah-Pringgodigdo
(salibazah at yahoo.fr)

perempuan bukan tjatjing pita mengatakan...

terima kasih responnya, dahulu skripsi saya tentang gerakan politik istri sedar dan KPI, sayang informasi tentang SEDAR sangat terbatas juga tentang ibu.. saya lanjutkan di email ya. emailnya apa ya? terima kasih banyak, saya sangat senang sekali membaca ini