Kamis, 10 Januari 2008

Kongres Para Tabib

Hindia Belanda pernah menjadi tuan rumah dalam kongres tabib yang telah dimulai sejak 6 agustus. Para dokter dari banyak negara ikut hadir dalam kongres yang diketuai Dr de Vogel. Acara dimulai dengan pemilihan pengurus kongres di societeit Concordia yang dihadiri oleh 70 dokter. Sorenya sekitar pukul 18.00, peserta kongres dijamu di istana Rijswijk oleh Gubernur Jenderal. Hadir juga para pembesar negeri seperti anggota Raad van Indie, anggota Volksraad, kepala departemen, dan residen. Dalam forum itu, Gubernur Jenderal berpidato dengan 4 bahasa yaitu Inggris, Perancis, Jerman, dan Belanda.(lumayan juga ne Dirk Kock ..)

Esoknya beberapa peserta berkunjung ke pulau Onrust dan pergi ke Bogor mengunjungi rumah sakit jiwa. Baru 1 hari kemudian dimulai lagi acara kongres yang kebanyakan hari itu berisi pidato-pidato dari pada dokter tentang wacana ketabiban seperti penyakit pes, kelemasan urat pada kuda, bengkak-bengkak sakit perempuan juga tentang vitamin, dan ada masih banyak lagi pidato dari para dokter peserta kongres.

Nah di antara beberapa pidato yang dibacakan hari itu, ada judul yang sempat menarik perhatian saya, yaitu tentang Budi Perasaan dari Anak-anak Negeri Hindia Sejati dan Tambahan untuk Ilmu Boedi Perasaan Anak Hindia. Yang pertama melintas dalam pikiran tentang dua tulisan ini ialah, bahwa pidato yang ditulis oleh Dr Kits van Heyningen dan WF. Theunissen ini barangkali berisi simpati terhadap kondisi penduduk dari wilayah yang terjajah.

Dalam Neratja, surat kabar di (antara) mana saya membaca berita ihwal kongres tabib ini memang tidak disebutkan dengan detail tentang isi pidato, tetapi ada sedikit ringkasan pidato. Dan ternyata dugaan saya dengan isi pidato itu salah kaprah . (walah-walah). Lantas apa isi pidato itu secara general?

Barangkali dua tulisan itu bisa dibilang sedikit bersifat empatik terhadap kondisi masyarakat Hindia Belanda, tetapi ternyata logika yang digunakan adalah logika kaum penjajah. Yang saya maksud dengan logika para kolonial adalah bahwa mereka merasa sebagai bangsa beradab, dan masyarakat yang berasal dari wilayah terjajah adalah masyarakat tanpa peradaban, sehingga perlu diberi ilmu budi agar beradab. Kasihan benar bukan? Hindia Belanda yang sekenanya dikatakan sebagai bangsa tanpa perdaban sehingga musti dikasih pengetahuan juga ilmu etika agar beradab.

Pertanyaannya, lantas apa arti beradab? Bukankah melakukan eksploitasi material, politis dan sosial atas wilayah yang bukan miliknya jauh tidak lebih beradab? Pancen, penjajah tetap penjajah!! Tapi tetep saja seh, kita tidak mungkin memungkiri bahwa pergerakan nasional belum tentu muncul tanpa pendidikan yang diselenggarakan oleh bangsa penjajah itu. (loh..)

Tidak ada komentar: